SUKABUMINEWS.NET – Para sahabat Nabi lebih mulia daripada
generasi sesudah mereka. Hal disebabkan karena beberapa faktor:
Pertama, mereka bisa mengindera sesuatu yang gaib seperti
ketika melihat sesuatu yang nampak. Sampai-sampai ketika salah seorang dari
mereka sedang berada dalam sebuah peperangan, seandainya ia menengadahkan
tangannya, niscaya ia bisa memetik anggur surga karena keyakinannya dengan
janji Ash-Shôdiqul Mashdûq.
Kedua, mereka lebih dermawan ketika mengorbankan dengan
darah daripada ketika kita berderma dengan harta. Cukuplah salah seorang dari
mereka menumpahkan darahnya fi sabîlillâh hanya dengan mendengarkan beberapa
patah kata dari Rasulullah. Sementara itu, salah seorang penceramah kita berbicara dengan
panjang lebar guna meminta infak yang berupa harta untuk mengharap ridha Allah,
tetapi kita tetap saja bakhil. Andaipun kita mau berinfak, kita selalu
mengungkit-ungkitnya.
Ketiga, orang yang bermaksiat di antara mereka lebih
bersemangat menghadapi kematian demi menyucikan dirinya, sekalipun hal itu bisa
berakibat kepalanya hilang. Katakanlah kepadaku demi Rabb-mu, keberanian
seperti apakah yang telah ditunjukan oleh Mâ’iz dan wanita Al-Ghômidiyyah dalam
rangka meminta untuk disucikan oleh Rasûlullâh Saw?
Keempat, ilmu para shahabat diamalkan dan wawasan mereka
sesuai dengan kebutuhan mereka. Sementara saat ini, ilmu menjadi sebuah
kesenangan, pemikiran menjadi khayalan, dan wawasan bagaikan model.
Kelima, para shahabat hidup dengan secukupnya. Adapun
siapa saja yang memiliki kelebihan harta, ia akan mempersembahkannya sebagai
bekal di akhirat. Namun, hal ini lain dengan orang-orang setelah mereka.
Orang-orang tersebut memiliki profesi menumpuk harta, dan kesibukannya mengejar
sesuatu yang bakal lenyap sebagai sebuah kreativitas. Karena itu, kehidupan
yang berlebihan pun melalaikannya dari beramal.
Keenam, mereka melaksanakan amalan hati dengan
sebaik-baiknya, baik berupa khauf (rasa khawatir), raja’ (pengharapan), raghbah
(kecintaan), rahbah (kebencian), khasyyah (ketakutan), mahabbah (kesenangan),
serta dibarengi dengan amalan anggota badan mereka. Adapun orang-orang
setelahnya, mereka lebih memperhatikan penampilan lahiriah dibandingkan yang
batiniah. Sehingga, perbuatan dan perkataan mereka pun tak luput dari cela.
Sebab:
فِي
الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ
الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ
الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
“Di dalam jasad
terdapat sekerat daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh jasadnya, dan
apabila ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya.”[1]
[1] Muttafaqun `alaih.
Penulis : Dhani El_Ashim
Diambil dari Mashâri`ul `Usyâq karya Dr. A’idh bin
Abdillah Al-Qarni
Tags
info-islami