Dari perang di Suriah, kasus korupsi, hingga skandal doping. Berikut rangkuman peristiwa politik paling berkesan sepanjang 2016 yang berhubungan secara langsung dan tak langsung dengan Rusia.
1. Operasi Militer di Suriah
Meski pada Maret lalu Vladimir Putin menyatakan bahwa operasi militer di Suriah, yang dimulai pada September 2015, “secara umum telah selesai” dan memerintahkan penarikan sejumlah kelompok militer, Rusia secara de facto masih melanjutkan keterlibatannya dalam konflik Suriah. Dukungan Rusia membantu pemerintahan Presiden Suriah Bashar Assad merebut kembali beberapa wilayahnya.
Dalam banyak kesempatan, Rusia bersama AS dan negara-negara Barat lainnya mencoba merekonsiliasi Assad dan pihak oposisi. Pada 27 Februari, dengan mediasi dari Moskow dan Washington, gencatan senjata diumumkan dan berlangsung selama beberapa bulan — hingga Juli, ketika pertempuran sengit meletus di Aleppo.
Moskow dan Washington mencoba membangkitkan kembali proses perdamaian, tapi negosiasi gagal dan perang terus berlanjut. Pada akhir 2016, pasukan pemerintah berhasil merebut kembali sejumlah besar bagian penting Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah.
Selain itu, pada Maret lalu Pasukan Kedirgantaraan Rusia membantu Tentara Suriah membebaskan kota bersejarah Palmyra (Tadmur) dari militan ISIS. Namun, pada Desember ini para teroris kembali memasuki kota, mengambil keuntungan dari fakta bahwa Rusia dan Suriah memfokuskan upaya mereka di Aleppo.
2. Rekonsiliasi dengan Turki
Setelah Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan meminta maaf kepada Presiden Putin tanggal 28 Juli lalu atas pesawat Rusia yang ditembak jatuh di wilayah Suriah pada November 2015, hubungan antara kedua negara, yang memburuk setelah insiden tersebut terjadi, berubah 180 derajat. Rusia membuka kembali penerbangan sewaan ke Turki dan mencabut sebagian sanksi ekonomi yang dikeluarkan pascapenembakan. Turis Rusia kembali diizinkan untuk mengunjungi Turki dan pada Oktober lalu dan kedua negara akhirnya menyepakati pembangunan pipa gas Turkish Stream.
Retorika para pejabat juga berubah drastis. Pada 2015, Putin menyebut insiden pesawat tersebut sebagai ‘tusukan dari belakang dari pendukung teroris’. Namun pada Agustus lalu, presiden Rusia menyatakan bahwa Turki adalah negara yang bersahabat yang memiliki kerja sama dan interaksi unik dengan Rusia.
Sepanjang tahun ini, Putin telah tiga kali bertemu Erdoğan. Juru Bicara Kepresidenan Rusia Dmitry Peskov menyebutkan bahwa kedua pemimpin kembali memiliki ‘hubungan yang saling percaya’.
3. Skandal Doping
Kurang dari sebulan sebelum dimulainya Olimpiade di Rio de Janeiro, pada 18 Juli komite WADA (World Anti-Doping Agency) mengeluarkan laporan mengenai skandal doping dalam dunia olahraga Rusia, yang disusun berdasarkan pernyataan dari mantan pejabat olahraga Rusia Grigory Rodchenkov. Berdasarkan laporan tersebut, dunia olahraga Rusia benar-benar penuh dengan skandal doping. Lembaga antidoping Rusia diketahui bekerja sama dengan Kementerian Olahraga Rusia dan FSB untuk menutupi tes doping yang dinyatakan positif. WADA juga menyebut bahwa atlet-atlet Rusia menggunakan doping dalam Olimpiade di London dan Sochi.
Pemerintah Rusia menyangkal keterlibatan mereka dalam skandal tersebut. Namun, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menanggapi laporan tersebut dengan sangat serius dan Rusia dapat diboikot sepenuhnya dari Olimpiade. Namun pada akhirnya, atlet-atlet Rusia tetap berangkat ke Rio meski tak seluruhnya: mereka yang bermasalah dengan skandal doping di masa lalu dilarang berpartisipasi.
Pada Desember ini, Komisioner WADA Richard McLaren mengeluarkan laporan bagian kedua yang menyebutkan bahwa lebih dari seribu atlet Rusia menggunakan doping. Kini, keputusan untuk menjatuhkan sanksi terhadap Rusia dan atlet-atlet secara individu berada di tangan badan-badan federasi olahraga dan IOC.
4. Perubahan Hubungan dengan AS
Selama setahun penuh, hubungan Moskow dan Washington tidak stabil. Periode yang relatif tenang berseling dengan retorika keras. Puncak konflik antara kedua negara muncul setelah upaya untuk mengatur situasi di Suriah secara damai gagal pada September lalu. Rusia menuduh Amerika mendukung teroris, sedangkan Gedung Putih dan Kementerian Luar Negeri AS menuduh Rusia membunuh warga Suriah dan melindungi diktator Bashar al-Assad. Vladimir Putin memerintahkan Rusia mundur dari kesepakatan yang ditandatangani dengan AS terkait penggunaan plutonium, lalu membekukan kerja sama di bidang pelucutan senjata nuklir.
Namun, setelah Donald Trump memenangkan pemilu presiden AS pada 8 November, berbagai kritik yang sebelumnya silih-berganti mulai mereda. Selama kampanye, kandidat dari Partai Republik tersebut sering mengatakan bahwa AS perlu berteman dengan Rusia dan bahwa ia mengagumi Putin sebagai pemimpin yang kuat.
Pejabat-pejabat AS menuduh Rusia mengganggu pemilu mereka, baik melalui peretasan server Partai Demokrat atau dengan mendukung Trump secara langsung. Pejabat Rusia membantah hal tersebut.
5. Penangkapan Pertama Menteri Federal
Dalam beberapa tahun terakhir, pejabat yang ditangkap di Rusia akibat kasus korupsi ialah walikota, gubernur, dan wakil menteri. Namun tahun ini, untuk pertama kali dalam sejarah Federasi Rusia, menteri yang sedang menjabat ditangkap. Pada 14 November 2016, Menteri Pengembangan Ekonomi Rusia Alexei Ulyukaev ditahan dengan tuduhan menerima suap sebesar dua juta dolar AS dari perusahaan minyak Rosneft.
Menurut investigasi, sang menteri mengancam akan menyabotase akuisisi Rosneft atas saham mayoritas di perusahaan minyak lain, Bashneft. Pendukung Ulyukaev menilai penahanan tersebut merupakan manifestasi dari perjuangan tersembunyi atas kekuasaan: sang menteri bisa saja jatuh dalam jebakan yang dibuat oleh klan kompetitornya.
Saat ini, Ulyukaev menunggu proses pengadilan dengan status tahanan rumah tanpa memiliki hak untuk berkomunikasi dengan media massa. Ia menyangkal bahwa ia bersalah.
Sumber: indonesia.rbth.com