sukabumiNews, JAKARTA - Wajah Kurniawan Dwi Yulianto nampak lesu saat itu. Dengan
langkah gontai dan wajah tertunduk dia berjalan bersama beberapa pria menuju
tempat rehat. Sebatang rokok menyala terselip di jarinya.
Penampilannya rapi dengan celana panjang hitam serta
kemeja, dibalut jas senada. Sepatunya cukup mengilap. Rambutnya sengaja dicukur
pendek. Bekas bintang lapangan hijau itu melempar senyum saat disapa.
Kurniawan terlibat dalam Kongres Luar Biasa Persatuan
Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) digelar pada 10 November 2016, di Hotel
Mercure (dahulu Hotel Horison), Ancol, Jakarta Utara. Agenda utama acara itu
buat memilih pengganti La Nyalla Mahmud Mattalitti, yang dibui lantaran
terlibat kasus korupsi dana hibah Pemerintah Provinsi Jawa Timur buat Kamar
Dagang dan Industri Jatim.
La Nyalla mengukuhkan dirinya merengkuh tampuk kekuasaan
PSSI melalui kongres. Namun pemerintah tidak mengakuinya dan membekukan
kepengurusan. Kompetisi liga lantas mati suri dan klub serta para pemain menjerit.
Kurniawan bukan tanpa maksud berada dalam kongres. Dia
menjadi salah satu kandidat ketua umum dan anggota komite eksekutif PSSI.
Sayang perjuangannya kandas. Dia tidak meraih jabatan apapun dari hasil
pemungutan suara saat itu.
Gerilya pengusung 'Trisula'
Jauh-jauh hari genderang persaingan memperebutkan posisi
Ketua PSSI sudah ditabuh. Selain Kurniawan tentunya, ada dua nama lain
dijagokan. Mereka adalah Panglima Kostrad Letjen Edy Rahmayadi dan mantan
Panglima TNI, Jenderal Moeldoko. Bisa dikatakan nyaris hanya dua jenderal
bertarung memperebutkan jabatan itu.
Di dalam kongres PSSI, aroma sepakbola bisa jadi tidak
tercium lagi. Semuanya murni politik. Mirip seperti di dalam partai. Apalagi
dalam kongres kemarin beberapa pesohor politik juga tebar pesona. Ada Ruhut
Sitompul dan Muhammad Misbakhun.
Usaha lobi terhadap kantung suara juga sudah gencar
sebelum kongres digelar. Sebagai pemilik suara dominan, Kelompok 85 (K-85)
malah sudah condong mendukung Edy sejak awal. Mereka bahkan membentuk gerakan
'Trisula'. Trio kandidat diusung adalah Edy sebagai ketua, didampingi Joko
Driyono dan Iwan Budianto sebagai wakil ketua.
"Kita sih memang sudah solid mengusung ER (Edy
Rahmayadi) di kongres. Kalau soal komposisi, memang itu yang kita dukung,"
kata seorang anggota delegasi di Kongres PSSI enggan ditulis namanya kepada
merdeka.com, saat ditemui di sela-sela Kongres PSSI, Kamis (10/11) lalu.
Menurut dia, Edy lebih cocok berada di posisi itu
ketimbang Moeldoko berdasarkan pengalaman. Sebab Edy di kalangan sepakbola
bukan orang baru. Dia sudah merumput bersama striker Ricky Yacobi. Dia juga
mengurus Persatuan Sepakbola Angkatan Darat, Persatuan Sepak Bola Medan
Sekitarnya (PSMS) Medan, dan terakhir PS TNI.
Joko Driyono dan Iwan Budianto juga muka lama di dunia
sepakbola. Jokdri, sapaan akrab Joko, pernah menjabat Sekjen PSSI. Kini dia
menjadi Direktur Utama PT. Gelora Trisula Semesta (GTS) merupakan operator
kompetisi Indonesia Soccer Championship. Sedangkan Iwan adalah Dirut Arema
Cronus. Soal peluang Moeldoko, dia mengaku tidak terlalu meliriknya lantaran
dianggap minim pengetahuan seluk-beluk bola kaki. Bahkan, figur seorang
Kurniawan juga tidak laku dalam pemilihan itu.
"Paling hanya kelompoknya Pak Erwin (Erwin Aksa)
yang dukung," ujarnya.
Konsolidasi semakin digencarkan dua hari menjelang
kongres. Apalagi anggota K-85 sebagian besar menginap di Hotel Mercure. Hal itu
juga ditegaskan oleh penggagas K-85 sekaligus manajer Persib, Umum Muchtar,
kalau mereka solid memilih Edy. Namun, dia tak bisa menghalangi jika beberapa
pemilik suara mendukung Moeldoko.
Agenda kongres saat itu pun dikebut. Riak-riak terjadi
hanya seputar pengguguran dan pengusiran terhadap Djohar Arifin Husin dan
beberapa kandidat komite eksekutif lain. Ada juga soal perwakilan PT Persebaya
Indonesia menuntut kongres tidak mengesahkan hak suara anggota Bhayangkara
Surabaya United. Namun tuntutan itu dianulir.
Urutan pemilihan pun dibalik. Jika biasanya jabatan ketua
dipilih belakangan, Komite Pemilihan PSSI diketuai Agum Gumelar memutuskan
supaya digelar lebih dulu.
Alhasil, Edy meraih 76 suara, disusul Moeldoko (23
suara), Eddy Rumpoko (1). Suara tidak sah ada tujuh, dengan total 107 pemilih.
Malah saat Edy baru meraih 54 suara, pendukungnya sudah
bersorak merayakan kemenangan. Moeldoko yang duduk di sampingnya hanya
tersenyum. Setelah penghitungan selesai, keduanya bersalaman dan berpelukan.
Moeldoko juga bergegas pergi dari arena kongres.
"Ya mudah-mudahan ada perubahan yang baik lah. Sudah
bagus lah ya. Selamat untuk Pak Edy," kata Moeldoko saat dicegat ketika
hendak menuju mobilnya.
Soal perolehan suara yang tidak bulat, Edy juga buka
suara. Namun dia menolak tudingan ada perpecahan. "Tidak. Bisa saja di
tengah jalan dia pilih orang lain," ucap Edy.
Di akhir kongres, Agum Gumelar mewanti Edy dan
rekan-rekannya soal tiga hal. Pertama dia meminta supaya kepengurusan terpilih
total melakukan reformasi sepakbola, tetapi tidak melupakan nilai-nilai
dibangun oleh pengurus sebelumnya.
"Satukan semua orang. Jangan lagi berpikir si ini
orangnya si A, si itu orangnya si B," kata Agum.
Agum juga berpesan Edy serius memerangi penyakit dalam
sepakbola, seperti mafia skor dan pertandingan. Itu supaya prestasi bola kaki
Indonesia tidak terpuruk melulu.
Red: Amalik
Sourch:
Merdekadotcom
Tags
news