sukabumiNews:: KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya sudah menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam sebagai tersangka.
Nur Alam diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pertambangan nikel di dua kabupaten di Sultra selama 2009 hingga 2014. Siapa Nur Alam?
Masa Kecil
Seperti dikutip dari butonsultra.com, Nur Alam kecil dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana, ditengah alam pedalaman asri bersama tiang-tiang jenggala rindang yang penuh duri, tapi teguh memagari jalan-jalan setapak tak beraspal dan tak bernama. Di sebuah pondok berdiding papan sederhana di Konda, Nur Alam lahir dari rahim suci seorang perempuan biasa, Hj. Fatimah, diasuh dan dibesarkan oleh ayahnya, Isruddin Lanay, seorang Mantri Kehutanan di era Soekarno.
Nur Alamkecil yang sering dipanggil Bolo – nama kakeknya itu, tumbuh sebagai anak yang lincah dan gesit bersama anak-anak lainnya, dan selalu mengambil inisiatif lebih awal di depan sebelum yang lainya memulai sesuatu.
Nur Alam kecil mendaftarkan diri ke SD Negeri Konda atas inisiatif sendiri, sebelum kemudian difasilitasi oleh orang tuanya. Saat duduk di bangku kelas II hingga kelas VI SD, Nur Alam kecil menggunakan nama Andi di depan namanya, hingga menjadi Andi Nur Alam. Sayangnya gelar Andi itu, yang diberikan oleh salah satu pamannya yang beretnik Bugis, tak sempat dipakai Nur Alam seterusnya karena sang guru menghapusnya saat menulis ijazah terakhir usai menamatkan bangku SD.
Duduk di bangku SD Nur Alam kecil punya hobi memetik kelapa bersama kakak-kakaknya. Selain kelapa, ia jug sering ikut memetik buah kemiri dari kebun milik ayahnya untuk dijual kepasar. Dari sini, ia memperoleh uang receh untuk jajan, juga kadang buat mentraktir teman-temannya.
SMP, Jalan Kaki 5 KM ke Sekolah
Nur Alam kecil mulai meretas kehidupan yang penuh dinamika ketika masuk SMP, tepatnya di SMP Negeri Ranomeeto. Selama setahun, nyaris setiap hari ia harus bolak balik berjalan kaki 5 km bersama anak-anak lainnya menempuh rute bolak balik Konda – Ranomeeto. Ia harus bangun subuh setiap harinya untuk mengejar waktu ke-sekolah. Berangkat ke sekolah pukul 5 subuh, suasana pedalaman ketika itu tentunya masih sangat gelap. Tapi ia tetap menembus dengan obor kecil.
Memasuki bangku kelas II, Nur Alam pindah ke SMP Negeri III Wua-Wua dan tinggal di rumah pamannya di Mandonga. Tinggal di sekitar pasar ‘lama’ Mandonga, Nur Alam kecil punya ide menarik. Sambil bersekolah, ia sewaktu-waktu pulang ke Konda memetik kelapa, kemiri dan hasil kebun lainnya untuk dibawa dan dijual kepasar. Dari sini, ia mendapatkan sedikit uang buat membiayai kebutuhan sekolah dan sebagiannya buat jajan di kantin sekolah.
Duduk di bangku SMP Nur Alam kecil mulai menunjukkan banyak talenta. Ia menjadi juara lomba pidato dan oleh gurunya ia ditunjuk mewakili SMP Negerri III Wua-wua untuk mengikuti lomba kepanduan (pramuka) tingkat Nasional di Cibubur, Jakarta. Sayang sekali, baru saja hendak merangkai talenta kepemimpinan di jalur kepanduan itu, Nur Alam kecil harus menerima nasib sedih. Ia ditinggal pergi sang ayah ketika masih berada di bumi perkemahan Cibubur. Beberapa hari kemudian ia kembali ke Kendari dalam status sudah yatim.
SMA di Kendari, Punya Usaha Sablon
Tahun 1981 Nur Alam masuk SMA Mandonga. Di sekolah yang tergolong keren di Kendari saat itu, ia banyak bertemu teman baru, termasuk siswa-siswa tetangga di SMEA dan STM Negeri Kendari. Sebagai anak yatim yang telah ditinggal pergi sang ayah, ia mulai memikirkan kelanjutan sekolahnya nanti. Ia tak harus menambah beban ibundanya yang memang tengah hidup susah karena hanya mengandalkan gaji pensiun mendiang suaminya.
“Saya harus belajar bisnis. Mama juga sudah setengah mati. Saya tidak boleh berhenti sampai SMA,” kenang Nur Alam saaat berkisah tentang masa-masa SMA-nya. Ia lalu merintis usaha sablon kecil-kecilan. H. Nusu Ibrahim, salah seorang rekan Nur Alam di SMA Mandonga ketika itu pernah bercerita bahwa dulunya, i Bolo (Nur Alam maksudnya), punya usaha sablon. Ia kadang tidak masuk disekolah gara-gara sibuk mencari order di luar.
Sumber: ISLAMPOS
Nur Alam diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pertambangan nikel di dua kabupaten di Sultra selama 2009 hingga 2014. Siapa Nur Alam?
Masa Kecil
Seperti dikutip dari butonsultra.com, Nur Alam kecil dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana, ditengah alam pedalaman asri bersama tiang-tiang jenggala rindang yang penuh duri, tapi teguh memagari jalan-jalan setapak tak beraspal dan tak bernama. Di sebuah pondok berdiding papan sederhana di Konda, Nur Alam lahir dari rahim suci seorang perempuan biasa, Hj. Fatimah, diasuh dan dibesarkan oleh ayahnya, Isruddin Lanay, seorang Mantri Kehutanan di era Soekarno.
Nur Alamkecil yang sering dipanggil Bolo – nama kakeknya itu, tumbuh sebagai anak yang lincah dan gesit bersama anak-anak lainnya, dan selalu mengambil inisiatif lebih awal di depan sebelum yang lainya memulai sesuatu.
Nur Alam kecil mendaftarkan diri ke SD Negeri Konda atas inisiatif sendiri, sebelum kemudian difasilitasi oleh orang tuanya. Saat duduk di bangku kelas II hingga kelas VI SD, Nur Alam kecil menggunakan nama Andi di depan namanya, hingga menjadi Andi Nur Alam. Sayangnya gelar Andi itu, yang diberikan oleh salah satu pamannya yang beretnik Bugis, tak sempat dipakai Nur Alam seterusnya karena sang guru menghapusnya saat menulis ijazah terakhir usai menamatkan bangku SD.
Duduk di bangku SD Nur Alam kecil punya hobi memetik kelapa bersama kakak-kakaknya. Selain kelapa, ia jug sering ikut memetik buah kemiri dari kebun milik ayahnya untuk dijual kepasar. Dari sini, ia memperoleh uang receh untuk jajan, juga kadang buat mentraktir teman-temannya.
Nur Alam kecil mulai meretas kehidupan yang penuh dinamika ketika masuk SMP, tepatnya di SMP Negeri Ranomeeto. Selama setahun, nyaris setiap hari ia harus bolak balik berjalan kaki 5 km bersama anak-anak lainnya menempuh rute bolak balik Konda – Ranomeeto. Ia harus bangun subuh setiap harinya untuk mengejar waktu ke-sekolah. Berangkat ke sekolah pukul 5 subuh, suasana pedalaman ketika itu tentunya masih sangat gelap. Tapi ia tetap menembus dengan obor kecil.
Memasuki bangku kelas II, Nur Alam pindah ke SMP Negeri III Wua-Wua dan tinggal di rumah pamannya di Mandonga. Tinggal di sekitar pasar ‘lama’ Mandonga, Nur Alam kecil punya ide menarik. Sambil bersekolah, ia sewaktu-waktu pulang ke Konda memetik kelapa, kemiri dan hasil kebun lainnya untuk dibawa dan dijual kepasar. Dari sini, ia mendapatkan sedikit uang buat membiayai kebutuhan sekolah dan sebagiannya buat jajan di kantin sekolah.
Duduk di bangku SMP Nur Alam kecil mulai menunjukkan banyak talenta. Ia menjadi juara lomba pidato dan oleh gurunya ia ditunjuk mewakili SMP Negerri III Wua-wua untuk mengikuti lomba kepanduan (pramuka) tingkat Nasional di Cibubur, Jakarta. Sayang sekali, baru saja hendak merangkai talenta kepemimpinan di jalur kepanduan itu, Nur Alam kecil harus menerima nasib sedih. Ia ditinggal pergi sang ayah ketika masih berada di bumi perkemahan Cibubur. Beberapa hari kemudian ia kembali ke Kendari dalam status sudah yatim.
SMA di Kendari, Punya Usaha Sablon
Tahun 1981 Nur Alam masuk SMA Mandonga. Di sekolah yang tergolong keren di Kendari saat itu, ia banyak bertemu teman baru, termasuk siswa-siswa tetangga di SMEA dan STM Negeri Kendari. Sebagai anak yatim yang telah ditinggal pergi sang ayah, ia mulai memikirkan kelanjutan sekolahnya nanti. Ia tak harus menambah beban ibundanya yang memang tengah hidup susah karena hanya mengandalkan gaji pensiun mendiang suaminya.
“Saya harus belajar bisnis. Mama juga sudah setengah mati. Saya tidak boleh berhenti sampai SMA,” kenang Nur Alam saaat berkisah tentang masa-masa SMA-nya. Ia lalu merintis usaha sablon kecil-kecilan. H. Nusu Ibrahim, salah seorang rekan Nur Alam di SMA Mandonga ketika itu pernah bercerita bahwa dulunya, i Bolo (Nur Alam maksudnya), punya usaha sablon. Ia kadang tidak masuk disekolah gara-gara sibuk mencari order di luar.
Sumber: ISLAMPOS
Tags
news