sukabumiNews, (mni) SUKABUMI - Ada udang di balik batu menggerogot besi di balik pasir, begitulah klise sederhana menggambarkan ambisinya para pengusaha tambang bersama oknum birokrasi Sukabumi untuk menggeruk lahan berkandungan pasir besi dari kawasan selatan Kabupaten Sukabumi. Namun celaka dua puluh satu, bukan untung dan manfaat, sebaliknya menyengsarakan ratusan warga masyarakat pemilik lahan di Kecamatan Tegalbuleud.
Betapa tidak, lahan yang menjadi hak milik warga seluas 154 Ha di pesisir pantai Tonggonglongok Kecamatan Tegalbuleud itu diperjualbelikan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Ironisnya, beberapa perusahaan baik asing maupun lokal yang menggeruk lahan milik warga tersebut, masing-masing mengantongi Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi. Hal ini diduga adanya koorporasi alias kongkalikong antara pemerintah daerah dan pengusaha untuk merampas lahan hak milik warga. Tak pelak, Bupati Sukabumi pun disinyalir sebagai aktor dibalik perampasan lahan hak milik ratusan warga.
Apalah daya tangan tak sampai, jeritan dan isak tangis warga yang kehilangan lahan sejak tahun 1997, sampai saat ini tidak pernah digubris oleh pemerintah setempat.
Hal ini membuat sekelompok pemuda dan mahasiswa bersama warga pemilik lahan nekat memasang bambu di sekeliling lahan sebagai bentuk penolakan, lalu melaporkan dugaan perampasan lahan ke Polres Sukabumi baru-baru ini.
Atas pengajuan warga pemilik lahan, status tanah seluas 154 Ha hak milik 168 orang warga Kecamatan Tegalbuleud itu disertifikatkan pada tahun 1987 oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sukabumi yang turut dibuktikan dengan SK Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat Nomor: 4467/ HM/ KWBPN/ 1997. Tiba-tiba saja, tanah yang terletak tepat di sebelah selatan Ciparanje itu diserobot oleh PT.Mutiara Bumi Parahiyangan (MBP) dibawah naungan pengusaha Harri Cader group.
Padahal pengusaha yang kerap disebut HC Group tersebut diketahui mengantongi proposal dan ijin penggunaan lahan untuk Agro Wisata dan Tambak Udang saat itu. Naasnya, selain menyalahgunakan fungsi penggunaan lahan, PT.MBP dalam melakukan upaya penguasaan lahan juga hanya dengan membeli sepotong kertas berupa SPPT dari tanah warga Desa Calincing, SPPT tanah warga dari Desa Tegalbuleud, dan SPPT dari tanah warga Desa Sumberjaya untuk kemudian obyek lahannya ditempatkan diatas tanah warga seluas 154 Ha tersebut dari total lahan seluas kurang lebih 384 Ha.
Hal ini diakui petugas lapangan HC Group, Wandi, “ya betul kejadian dulu seperti itu, semuanya sekitar 384 Ha, lebih jelasnya silahkan hubungi saja Ridwan karena dia yang lebih tau soal itu” ungkap Wandi saat ditemui beberapa waktu lalu di jalan masuk kawasan lahan pasir besi yang sedang digarap oleh Perusahaan Daerah Aneka Tambang dan Energi (PD.ATE) Kabupaten Sukabumi.
Tercium adanya penyerobotan lahan dan protes yang tidak dihiraukan saat itu, warga pemilik lahan akhirnya sepakat untuk melakukan sertifikasi ulang lahannya pada tahun 1997, “waktu itu jaman kepala desa Bulhin yang kemudian digantikan oleh Antono, kami sebagai pemilik tanah tidak pernah berurusan apapun menyangkut sewa gadai apalagi jual beli dengan Harri Cader, maka kami sepakat untuk sertifikatkan ulang lahan kami melalui Atar warga Tegalbuleud yang mengerti tentang urusan pertanahan” jelas seorang warga pemilik lahan, Pendi (75) saat ditemui wartawan beberapa waktu lalu di kediamannya.
Pendi dan beberapa warga lainnya menerangkan, Atar warga Tegalbuleud yang berperan sebagai biong tanah merupakan orang yang sangat dipercayai Sukmawijaya, “dia (Atar,Red) sangat dipercaya oleh Sukmawijaya (Bupati Sukabumi saat itu, Red), karena sehari-harinya disini mengurus kerbau milik Sukma” ungkap Pendi.
Sejak tahun 1997 itulah malapetaka kembali menimpa warga pemilik lahan. Masih menurut warga pemilik lahan, pada tahun itu di saat pengambilan buku sertifikatnya di BPN Kabupaten Sukabumi, mereka diintimidasi sekelompok orang bahkan sebagian warga dijegal oleh oknum aparat kepolisian dan ditahan di Polsek Warudoyong, Kota Sukabumi, “saat itu kami pemilik lahan sampai dikejar-kejar ke rumah dan merebut sertifikat kami, bahkan diantara warga ada yang didatangi oknum polisi ke rumahnya untuk mengambil paksa buku sertifikatnya” kata Pendi.
Tidak hanya itu, lanjut Pendi, banyak sertifikat hak milik warga juga diambil secara sepihak di kantor BPN Kabupaten Sukabumi oleh seorang pengusaha yang diketahui bernama H.Jaya Permanasukma alias H.Acep (alm) dan konco-konconya seperti Atar, Anwar dan Komar dengan mengatasnamakan warga pemilik lahan. Sebelumnya, kata Pendi, warga juga ditipu dan diiiming-imingi lahan miliknya akan dibayar oleh H.Jaya Permanasukma, “puluhan orang warga sudah ditipu, disuruh oleh H.Acep agar menandatangani kertas kosong dan dikasih uang untuk ongkos pulang dari Sukabumi ke Tegalbuleud, belakangan kata H.Acep bahwa uang itu uang pinjaman atau uang muka untuk pembayaran tanah kami, jumlahnya sekitar Rp 150 per meter dari rencana harga jual Rp 650 per meter yang ditawarkan H.Acep” ungkap Pendi.
Hal ini dibenarkan oleh salah seorang konco H.Jaya Permanasukma (H.Acep,Red) yang juga mantan anggota polisi Mamat Komarudin alias Komar. “Betul, ini tidak hanya perampasan tetapi juga penipuan, warga dikumpulkan di beberapa tempat dan dirayu serta diperdaya dengan alasan H.Acep saat itu untuk penyandang, saya sebagai salah seorang pelaku saat itu yang disuruh Atar untuk mengambil buku sertifikat yang kemungkinan sertifikat tersebut sudah dibaliknama di kantor Agraria (BPN Kab.Sukabumi,Red) atas nama 35 orang,” tuturnya.
“Saya sama sekali tidak kenal siapa mereka karena bukan warga Tegalbuleud, menurut Atar, mereka itu adalah orangnya pak Eji yang menjabat sebagai sekertaris H.Acep saat itu,” lanjut Komar dengan nada lantang dan tegas. Sampai saat ini, sebagian besar warga pemilik lahan mengakui tidak pernah melakukan transaksi jual beli ataupun sewa-gadai kepada H.Jaya Permana Sukma (alm), “kami tidak pernah melakukan jual beli lahan kami dengan siapapun, sebagian besar warga termasuk saya sama sekali tidak mengenal siapa H. Acep itu” kata seorang warga pemilik lahan Tini binti Hawi kepada wartawan saat ditemui di kediamannya, pekan lalu.
Disaat warga sebanyak 168 orang sedang kebingungan, sim salabim ada kadabrak, lahan mereka seluas 142,86 Ha dari luas lahan 154 Ha itu telah beralih hak miliknya kepada beberapa orang diantaranya tentu saja H.Jaya Permanasukma, lalu Rahmawati Supria, Hani Oktaviani, Suherman, Desi Susianti, Meliana, Apan Sopandi, Asep Sukandi, Bambang, Usep Hamami, Deni Hermawan, dan H.Siti Habibah, serta Dede Mulyadi. Warga pemilik lahan mengaku tidak pernah melakukan transaksi jual beli atau sewa-gadai kepada orang-orang tersebut, “kenal juga tidak, jadi kami tidak pernah melakukan transaksi apapun dengan orang-orang itu” tegas seorang pemilik lahan Lili Daswandi bersama beberapa warga pemilik lahan lainnya saat ditemui wartawan di kediaman Pendi bin Madsukin, Kampung Ciogong, Kecamatan Tegalbuleud. Celakanya, berdasarkan penelusuran tim, pada lembaran buku sertifikat warga telah tercantum nomor Akta Jual Beli sebagai dasar peralihan hak dari warga pemilik lahan. Akta Jual Beli tanah 142, 86 Ha dari lahan seluas 154 Ha tersebut diduga palsu. Hal ini dibenarkan oleh Camat Tegalbuleud Tri Romadono, “benar, AJB yang anda cari tidak ada, sudah dicari-cari dari kemarin, sekedar nomor registernya pun tidak ada” ungkap Camat Tri saat ditemui di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.
Sudah jatuh ketimpa gunung. Datang lagi, tanah seluas 154 Ha saat ini malah diakui milik pihak PT. Tambang Abadi Sukses Sentosa dibawah naungan seorang pengusaha yang diketahui bernama Hokiarto, “hai saudara, PT.Tambang Abadi sudah membeli tanah tersebut secara resmi dari H.Usman Efendi berdasarkan surat dari Badan Penyitaan Utang Negara (BPUN) dan surat pelelangan dari Bank Niaga dan Bank Supra Sukabumi, sehingga lahan itu saat ini sudah dikonversi menjadi satu sertifikat HGB, jadi silahkan saudara pertanyakan pada H.Usman” ungkap pihak PT.Tambang Abadi Sukses Sentosa yang bersihkeras tidak mau dikorankan namanya. Saat dikonfirmasi menyangkut adanya pembelian lahan tersebut, H.Usman Efendi mengakui lahan tersebut dibeli dari keluarga H.Jaya Permanasukma, “ya betul saya membelinya dari keluarga H.Acep (Jaya Permanasukma,red) melalui Notaris, Gunawan,SH, silahkan anda tanyakan pada pak notaris Gunawan” pungkas H.Usman singkat padat melalui telpon selullernya.
Parahnya lagi, selain diklaim milik PT.Tambang Abadi Sukses Sentosa, diatas obyek yang sama, juga diklaim milik PT. Sumber Suryadaya Prima (SSP) dan juga Perusahaan Daerah Aneka Tambang dan Energi (PD.ATE) Kabupaten Sukabumi. Kedua perusahaan itu mengklaim memiliki Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di atas lahan tersebut. Bedanya, IUP milik PT.SSP seluas ratusan hektar, sedangkan PD.ATE hanya puluhan hektar. Oknum pemerintah daerah baik dari tingkat desa hingga kabupaten, diduga sebagai dalang amburadulnya pertambangan di kawasan Tegalbuleud. Hal ini dapat dilihat dari daftar nominatif pemilik lahan 154 Ha yang semulanya diketahui fiktif, turut disahkan oleh kepala desa setempat Pupuh Syarifudin.
Masyarakat sekitar lokasi pertambangan juga turut mempertanyakan adanya IUP beberapa perusahaan diatas lahan yang sama, “mulai dari awal ketimpangan urusan lahan warga ini tidak terlepas dari campur tangan pemerintah daerah, mulai dengan administrasinya hingga pada tahap rekomendasi untuk pemberian ijin, disinilah Bupati Sukabumi patut diduga sebagai aktor terjadinya semua persoalan pertambangan di Tegalbuleud ini” tegas seorang aktivis PM-GRIB Dian Herdinata. Lebih tragisnya lagi, dokumen berupa peta asli atas lahan pasir besi seluas 154 Ha di pesisir pantai Tonggonglongok Kecamatan Tegalbuleud itu dikatakan hilang oleh pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sukabumi. Belakangan, diam-diam, seseorang yang diketahui bernama Ridwan mendatangi tim MN dan menawarkan uang sejumlah ratusan juta rupiah untuk mendapatkan peta tersebut.
Sementara itu terkait pertambangan pasir besi di Kecamatan Tegalbuleud seluas 154 Ha tersebut, menurut Bupati Sukabumi melalui Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemda Kabupaten Sukabumi Yudi Pancayoga Indra Puspayuda, semua proses sudah ditempuh sesuai dengan mekanisme atau peraturan pertambangan yang ada, termasuk ijin Analisa Mengenai dampak Lingkungan (Amdal), “semua sudah ditempuh termasuk ijin Amdalnya”, ujar Yudi saat dihubungi wartawan melalui telefon genggamnya.