Dari Perang Ahzab ke Perang Koalisi

Dinasti Shofawiy

Bangkitnya Dinasti Shofawiy merupakan tujuan akhir Rofidhoh Iran. Dinasti Shofawiy didirikan oleh thoriqoh Sufi bernama ash Shofawiyyah. Asalnya digambarkan sebagai sekte “Sunnah” dan bermadzhab“Syafi’i”, padahal ia mencampuradukkan banyak klenik ekstrim Sufi yang murtad. Firqah sesat ini kemudian mengambil ajaran Sufi Imamiyyah setelah pendiriannya. Tidak lama kemudian berubah menjadi kelompok politik dan militer yang berperang hingga pemimpinnya Isma’il ibnu Haidar ash Shofawiy mengambil alih Persia. Dia memaksakan ajaran Syiah terhadap penduduk Sunni hingga Persia didominasi Rofidhoh setelah sebelumnya didominasi Ahlus Sunnah. Termasuk dalam kebijakannya ialah menghukum mati para ulama Ahlus Sunnah dan membantai penduduk Ahlus Sunnah yang menentang. Dia merupakan penguasa yang sangat anti-Sunnah yang merebut kekuasaan semenjak runtuhnya negara ‘Ubaidiyyah penganut firqah Isma’iliyyah yang berkedudukan di Mesir. Dinasti Shofawiyyah berkuasa tahun “1501-1736 M”.

Lebih dari dua ratus tahun kemudian, Khomeini yang menganut Rofidhoh membawa hasil usaha orang-orang Shofawiy pendahulunya dan memberi para ulama Rofidhoh kekuasaan langsung dalam politik lewat konsep yang dipropagandakannya, yang dikenal dengan istilah “wilayah al faqih” (“perwalian ahli fiqh”), dan melalui apa yang dia sebut dengan “revolusi.” Tiba-tiba saja para ulama Rofidhoh berada dalam kendali langsung atas Persia dan dalam beberapa tahun, mereka mengekspor agama syirik mereka ke Syam, Iraq, Jazirah Arab, Khurosan, India, Turki, Azerbaijan, Afrika, dan Asia Tenggara.

Kemudian Rofidhoh mendominasi banyak wilayah Yaman dengan bergerak bersama boneka Amerika ‘Ali ‘Abdullah Shalih. Hal itu terjadi tatkala mereka sudah mendapat kemenangan di Suriah dan Lebanon sebagai hasil dari penyerahan Iraq kepada mereka oleh Amerika pasca “Operasi Pembebasan Iraq.” Tiba-tiba “Bulan Sabit Syiah” berubah menjadi gerhana matahari sehingga akhirnya mengancam Islam di mana-mana. Mereka mempersatukan Nushairiyyah, Isma’iliyyah, dan Zaidiyyah di balik apa yang mereka namakan “faqih” dalam perang melawan Ahlus Sunnah. Rencana mereka ialah meneruskan perang melawan Islam hingga kemunculan “Al Mahdi” versi Rofidhoh, yang – menurut mereka – akan berbicara dengan bahasa Ibrani, berhukum dengan Taurat, diikuti oleh Yahudi, dan membunuh semua orang Arab – tanpa diragukan lagi ciri-cirinya sesui dengan Dajjal Yahudi dan bukan Al-Mahdi yang Muslim.[1]
Fakta bahwa Rofidhoh yang murtad lebih bersatu-padu, terorganisir, keras, dan agresif daripada sekutu-sekutu para salibis – thowaghit dan shohawat – membuat mereka lebih disukai oleh salibis. Dengan demikian, para salibis lebih mengandalkan mereka dan sekutu-sekutu Kurdi Rofidhoh daripada yang lainnya dalam perang melawan Khilafah. Secara umum Rofidhoh lebih barbar dan bersatu daripada koalisi salibis sendiri, tetapi muwahhidin Khilafah telah menajamkan banyak pisau dan mempersiapkan banyak bom mobil untuk membantai kawanan domba Rofidhoh hingga Rofidhoh terakhir mati di bawah bendera Dajjal.
Koalisi Shohawat

Shohawat pertama kali dinamai di Iraq tetapi telah muncul menjadi sebuah fenomena lebih awal sejak pasca Komunisme Afghanistan. Nama tersebut berasal dari kata Arab bermakna “kebangkitan.” Shohawat Iraq terdiri dari geng-geng bersenjata kabilah suku yang mulai mendukung para salibis Amerika melawan mujahidin pada “2005” sebelum berdirinya Daulah Islamiyyah. Kerjasama ini berkembang hingga ‘Abdus Sattar ar Risyawi membentuk majelis “Kebangkitan al Anbar,” salah satu shohawat resmi bikinan Amerika, yang diharapkan “bangkit” untuk menghadapi mujahidin. Majelis kabilah suku ini berpihak kepada shohawat yang berbentuk faksi-faksi melawan Daulah Islamiyyah di mana kebanyakan dari mereka telah dikendalikan secara kesukuan.

Shohawat yang berbentuk faksi-faksi ini bisa diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: faksi perlawanan nasionalis yang bermanhajkan Ikhwani dan faksi “jihad” nasionalis bermanhajkan Sururiyyah.[2] Faksi-faksi “jihad” (“Jaisyul Islam fil Iraq,” “Jaisyul Mujahidin,” dan “Majelis Syar’i Jaisy Anshar As-Sunnah,”[3] dan lain-lain) membentuk “Front Jihad dan Reformasi.” Faksi-faksi perlawanan (“Brigade Revolusi 1920,” “Jaisy Ar Rasyidin,” “Jaisyul Muslimin Fil ‘Iraq,” dan lain-lain) membentuk “Front Jihad dan Perubahan,” mengikuti pembentukan sebuah koalisi perlawanan lainnya yang dikenal dengan “Front Islam untuk Perlawanan Iraq.” Berbagai faksi perlawanan dan “jihad” dalam koalisi-koalisi yang lebih kecil ini akhirnya bergabung ke dalam “Majelis Politik untuk Perlawanan Iraq,” sedangkan beberapa kelompok yang lebih kecil tetap berada di pinggir lapangan yang akhirnya menghadapi kematian. Semua bentuk front dan majelis ini secara nyata dipengaruhi dan disusupi oleh “Hizbul Islami,” cabang Ikhwanul Muslimin di Iraq. Tidak lama setelah terbentuknya berbagai front dan majelis ini, “jihad” mereka berubah menjadi pernyataan-pernyataan politik tanpa realita di lapangan. Perang mereka hanyalah perang melawan Daulah Islamiyyah, karena mereka telah mengikat perjanjian dengan Amerika dan memutuskan bahwa kelompok yang disebut dengan “Khowarij” adalah musuh Islam yang lebih besar!

“Ikhwanisasi” “jihad” menjadi dalang atas pengkhianatan dan penyimpangan Burhanuddin Rabbani, Ahmad Syah Massoud, dan Abdul Rasul Sayyaf di Afganistan, Abdullo Nuri di Tajikistan, Abdelhakim Belhadj, Abdel Wahab Qaid, Abdel Hakim al Hasidi, dan Sami Mushthafa as ‘Sa’idi di Libya, Syarif Syaikh Ahmad di Somalia, Mohamed Abu Samra, Kamal Habib, Nabil Na’iim, Karam Zuhdi, Abbud al Zumar, Thoriq al Zumar, Najih Ibrahim, Usamah Hafizh, ‘Ashim ‘Abdil Majid, ‘Ashim Darbalah, ‘Abdul Akhir al Ghonaimi, dan Usamah Rusydi di Mesir, serta Hamas di Palestina.[4]

“Ikhwanisasi” “jihad”-lah yang menghantarkan terbentuknya kongres “Fajar Libya” dan kelompok “Majelis Komando Revolusioner Suriah” al Ikhwan yang bersekutu dengan kelompok al Ikhwan Suriah “Koalisi Nasional Suriah” dan “pemerintahan interim”-nya.

“Ikhwanisasi” “jihad”-lah yang membawa terbentuknya, bergabungnya, dan terpecahnya berbagai front dan ruang operasi bersama di Syam dalam suatu bentuk yang sangat serupa dengan yang ada di Iraq. Dengan satu pengecualian dalam aspek penting, yakni faksi-faksi shohawat di Iraq merupakan faksi yang sebelumnya berperang melawan salibis Amerika, menjadikan normalisasi hubungan dengan para salibis menjadi sesuatu yang aneh. Adapun faksi-faksi shohawat di Syam, sejak awal perang di Syam, mereka mengemis-ngemis meminta intervensi atau minimal bantuan dari Amerika, Eropa, Arab, dan Turki dan telah membuat mereka semakin dekat dengan beragam pendukung dan sekutu, baik secara terbuka maupun tertutup, membuat perubahan mereka menjadi shohawat tergolong sesuatu yang alami dan bisa diduga.

Seperti halnya shohawat Iraq, maka di Syam terdapat faksi-faksi perlawanan nasionalis (“Jaisyul Mujahidin,” “Jabhah Syamiyyah,” “Failaq asy Syam,” dsb.) dan faksi-faksi “jihad” nasionalis (“Ahrar asy Syam,” “Jaisyul Islam,” dan Jabhah Jawlani). Dan seperti beragam front dan majelis yang terbentuk di Iraq di mana para faksi anggotanya berjanji sepenuhnya untuk bersatu padu namun kemudian terpecah dan tidak pernah mencapai persatuan yang mereka inginkan, maka beragam koalisi dan front di Syam seperti “Jabhah Islamiyyah” dan “Jaisyul Fath” yang berisi faksi-faksi independen juga menolak bergabung menjadi entitas yang lebih besar dan menginginkan perpecahan yang lebih dalam. Penyakit hizbiyyah dan cinta kepemimpinanlah yang senantiasa menggerogoti mereka, disamping kesesatan mereka yang sangat besar.

Perpecahan yang terus terjadi dan mendalam inilah yang membuat Amerika memilih rezim Shofawiy di Iraq daripada proyek Shohawat. Akhirnya Amerika meninggalkan Shohawat murtad menuju hasrat dan hawa nafsu “faqih” Shofawiy Iran yang kemudian mengkhianati mereka, padahal di era Shohawat bertahun-tahun lamanya Shohawat melayani kepentingan rezim Shofawiy di Iraq dan salibis.

Pihak shohawat – baik yang berada di Syam, Iraq, Libya, Pakistan, Afghanistan, Yaman, maupun tempat lainnya – di samping para pemimpin mereka bepergian dari Yordania lalu Arab “Saudi,” kemudian Kuwait, lalu Qatar, lalu Turki, lalu Inggris, lalu Amerika Serikat, hanya memiliki satu hal yang sama; mereka adalah penganut Machiavellian. Bagi mereka, tujuan menghalalkan segala cara. Dan oleh karenanya, “kebaikan” apa saja yang diperoleh atau “kepentingan” apa saja yang dikejar membenarkan kemurtadan dan kemunafikan. Mereka tidak mengambil pendapat yang didasarkan pada dalil, namun mereka mencari pendapat lemah dan ganjil guna mengejar tahta, harta, dan kehormatan, serta menghalalkan wala’ kepada kuffar dan berbaro’ah dari Muslimin. Ketika perbuatan mereka tampak nyata dengan berperang di jalan salibis dan thowaghit melawan Islam dan kaum Muslimin, mereka berupaya mencitrakan diri mereka guna melegalkan permintaan bantuan  pada kuffar dengan dalih memerangi apa yang dituduh sebagai “Khowarij”! Kemudian faksi “jihad” yang beragam tersebut – dikendalikan oleh paham irja’ dan hizbiyyah – menjadi murtad dan bersekutu dengan faksi-faksi nasionalis melawan musuh bersama, yaitu “Khowarij”, sembari mengada-adakan udzur bagi kafirnya sekutu nasionalis mereka untuk mencitrakan sekutu mereka tersebut sebagai Muslim yang salah dalam melawan musuh berbahaya. Oleh karenanya, mereka udzur kekafiran apa pun yang dilakukan demi “membela diri”! Barangkali tidak lama lagi fanatisme mereka akan menimpa mereka, hingga mereka akan saling menyalahkan demi mendapatkan dominasi politik atas tanah yang tak seberapa yang telah mereka “bebaskan.”
Sebuah Kesempatan untuk Beramal Mulia

Adapun bagi Muslimin yang tidak mampu melakukan hijrah dari darul kufur ke Khilafah, maka terdapat banyak kesempatan baginya untuk menyerang musuh-musuh Daulah Islamiyyah. Terdapat lebih dari tujuh puluh musuh untuk dia pilih, baik itu negara salibis, rezim thoghut, tentara murtad, milisi Rofidhoh, dan faksi shohawat. Wilayah kepentingan mereka tersebar di seluruh penjuru dunia. Umat Muslimin seharusnya tidak ragu untuk menyerang mereka sebisa mungkin. Selain membunuh Salibis di mana pun mereka berada di muka bumi ini, lantas – sebagai misal – apa yang menghalanginya untuk menargetkan komunitas Rofidhoh di Dearborn (Michigan), Los Angeles, dan New York City? Atau menargetkan utusan diplomatik Panama[5] di Jakarta, Doha, dan Dubai? Atau menargetkan utusan diplomatik Jepang di Bosnia, Malaysia, dan Indonesia? Atau menargetkan diplomat-diplomat Saudi di Tirana (Albania), Sarajevo (Bosnia), dan Pristina (Kosovo)? Atau mengeksekusi sponsor-sponsor utama Shohawat di Qatar, Kuwait, dan Arab “Saudi”? Apa yang menghalanginya menargetkan sekutu-sekutu PKK dan Peshmerga di Eropa dan Amerika, termasuk “Konfederasi Asosiasi Kurdi di Eropa” (KON-KURD – berbasis di Brussels) dan “Persatuan Pebisnis Kurdi Internasional” (KAR-SAZ – berbasis di Rotterdam) yang keduanya dikenal mendukung PKK secara finansial?

Jika terhalang dari berhijrah bagaimanapun alasannya, seseorang tidak diudzur dari jihad melawan musuh-musuh Islam di dekatnya.

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu dan hendaklah mereka menemui kekerasan darimu. Dan ketahuilah, Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” [QS At Taubah 123]

Kesimpulan

Kesabaran dan keteguhan Muslimin dalam Ghozwah Ahzab mengandung makna bahwa mereka adalah pasukan yang patut diperhitungkan. Jika digabungkan dengan banyaknya jumlah kemenangan yang mereka dapatkan dalam perang, musuh mereka pun akhirnya akan mengakui kekalahan. Mereka pun menawarkan gencatan senjata, seperti dalam Perjanjian Hudaibiyyah yang kemudian dilanggar oleh musyrikin Quraisy dan akhirnya berujung pada Fathu Makkah.

Para pengklaim jihad yang beragam berupaya mengubah jalannya peristiwa dalam Siroh. Peristiwa Hudaibiyyah mereka pelintir, sehingga membuat-buat apa yang disebut “fiqh” yang dengannya mereka memperlunak kewajiban jihad dan wala’ wal baro’. Mereka lupa bahwa Hudaibiyyah terjadi setelah hijrah, berdirinya negara kenabian, dan kemenangan di Badar. Ia terjadi setelah kesabaran dan keteguhan yang ditunjukkan dalam Ghozwah Uhud dan Ahzab. Ia datang pada saat Muslimin tengah berada dalam kekuatan besar, tidak lagi mendapat ancaman penghancuran dari tangan orang-orang Quraisy. Ia datang di saat Quraisy takut kepada Muslimin karena dianggap sebagai lawan yang hebat.

Di sisi lain, Shohawat berlomba-lomba mendatangi salibis… dan bahkan orang-orang murtad! Kemudian Shohawat bernaung di bawah sayap mereka, menaati perintah mereka sebagai bentuk pertukaran bantuan dan dukungan, dan mengobarkan perang melawan Daulah Islamiyyah sementara mereka sendiri menolak penerapan syari’at Islam; semuanya dengan mengklaim bahwa ini berasal dari “fiqh” Hudaibiyyah. Padahal sebaliknya, fiqh Hudaibiyyah berada dalam kesabaran Rasul shollallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam semua pertempuran terdahulu sebelum Hudaibiyyah. Ia berada dalam pengakuan janji Rabb mereka pada saat pertemuan di Perang Ahzab. Ia disebabkan keistiqamahan jihad dan wala’ wal baro’ mereka yang tidak pernah berhenti. Ia terjadi saat direngkuhnya kekuatan yang karenanya gencatan senjata yang mereka tanda tangani muncul dalam posisi kuat dan bukan lemah. Oleh karena itu, syarat-syaratnya akhirnya hanya diperuntukkan untuk kepentingan umat Islam.
Pada akhirnya, bukanlah kemurtadan dan hati lemah yang tersesat serta orang-orang munafik yang membawa pada perjanjian dengan bangsa Romawi sebelum Kiamat, namun kesabaran dan keteguhan mujahidin dalam perjalanan mereka menuju kekuatan selanjutnya serta ekspansi yang lebih luas di hadapan perang salib internasional melawan Islamlah yang akan meraih hal semacam itu.
Ya Allah, yang membolak-balik hati, tetapkanlah hati kami di jalanMu hingga orang terakhir dari kami berperang di bawah bendera al Masih ‘alaihis salam melawan ad Dajjal.



[1] Lihat artikel “Al Mahdi versi Rofidhoh: Dajjal” dalam Dabiq edisi ini.
[2] Selanjutnya “Sururiyyah” merupakan gerakan “Salafi” pro Saudi yang telah meninggalkan sejarah keoposisiannya dengan thowaghit Saudi. Para pemimpin mereka membolehkan ikut ambil bagian dalam pemilu demokrasi dan referendumnya yang murtad. Di Jaziroh Arab, gerakan mereka dipandang sebagai gerakan “Shohawat,” tidak ada hubungannya dengan Shohawat Iraq. Dua orang pemimpinnya yang paling terkenal ialah Salman al ‘Audah dan Safar al Hawali. Nama “Sururi” sendiri diambil dari nama “Muhammad Surur,” yang seperti halnya Salman dan Safar, berubah menjadi pendukung Saudi yang kental setelah di masa lalu menentang thowaghit Saudi. Secara menyeluruh, orang-orang bisa menyimpulkan as Sururiyyah adalah al Ikhwan dalam bentuk “Salafiyyah.” Semoga Allah menghinakan “ulama-ulama” jahat dan tuan-tuan thoghut Saudi mereka.
[3] Ini adalah kelompok yang menghendaki untuk bergabung dengan Shohawat Iraq dan keluar dari Anshar al Islam.
[4] Lihat rubrik “Dari Lembaran Sejarah” dalam Dabiq edisi ini.

[5] Apa yang diharapkan oleh negara yang menyedihkan seperti Panama bagi warga negaranya selain lebih banyak lagi teror ketika mereka secara arogan masuk ke dalam koalisi pimpinan Amerika melawan Daulah Islamiyyah?

Anda boleh beropini dengan mengomantari Artikel di atas

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال