sukabumiNews, BADUNG - Ironi, ketika negara menyatakan perang terhadap narkotika, namun tidak mendapatkan dukungan dari perangkat hukum yang ada, dimana gembong narkoba justru mendapatkan keringanan hukuman.
Hal itu terjadi dalam kasus putusan di Pengadilan Tinggi (PT) Bandung yang menganulir putusan Pengadilan Negeri (PN) Cibadak atas hukuman mati dua gembong narkoba asal Iran, Mostafa Moradalivand bin Moradali dan Seyed Hashem Moosavipour bin Seyed Abdollah.
Anehnya, meski para gembong narkoba tersebut kedapatan memiliki 40 kg lebih sabu-sabu, namun pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Cibadak khususnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya menuntut 20 tahun penjara saat ditingkat pertama.
Pelaksana Tugas Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung, Jasman Pandjaitan, menyayangkan tuntutan JPU yang terlalu ringan tersebut. "Harusnya dituntut mati karena barang bukti yang ada yakni 40 kg lebih," kata Jasman seperti dikutip Harian Terbit, Rabu (29/4/2015).
Untuk itu, pihaknya menyelidiki apa dasar tuntutan ringan tersebut. "Pengawasan sudah memeriksa Kepala Kejaksaan Negeri Cibadak, Kasi Pidum Kejari Cibadak, Aspidum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat pada Jumat (24/4) dan Selasa (28/4)," lanjut Jasman.
Jasman menambahkan, pihaknya juga memeriksa Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat (Jabar) Feri Wibisono. "Kajati juga diperiksa atas hal ini," tuturnya.
Menurutnya, dengan barang bukti sekian besarnya, penyalahgunaan narkoba ini harusnya divonis mati. "Kita akan periksa apakah dalam rencana tuntutan kasus tersebut pihak Kejati Jawa Barat meminta petunjuk ke Jampidum," jelasnya.
Hasil pemeriksaan para jaksa dilingkup Kejati Jabar itu dikatakan Jasman akan diserahkan kepada Jaksa Agung M Prasetyo. "Kami akan serahkan hasil pemeriksaan ini untuk dimintai petunjuk kepada Jaksa Agung," tukasnya.
Terpisah, Ketua Komisi Kejaksaan Halius Hosen, menilai tuntutan JPU dalam kasus narkoba dua WNA asal Iran tersebut tidak tepat. "Kepemilikan 50 gram heroin saja dihukum mati. Ini yang 40 kg sabu malah dituntut ringan. Jelas ini sebuah tuntutan yang tidak tepat di masa keadilan yang berkembang ini," papar Halius.
Ia pun mendesak agar Kejagung menelusuri dugaan adanya permainan dalam kasus ini. "Tuntutan ringan kasus ini bukti kurangnya pengawasan melekat yang ada di Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi Jawa Barat," terangnya.
Padahal, kata dia, kasus ini masih di Pulau Jawa dan pengawasan ataupun kontrol yang seharusnya lebih mudah, malah seperti tidak ada sama sekali. "Apalagi kalau ada kasus serupa di luar Jawa. Pasti tidak bisa dikontrol," tegasnya.
Untuk itu, Halius meminta Jaksa Agung untuk menindak jaksa baik di tingkat Kejari Cibadak, Kejati Jawa Barat yang terlibat dalam pembuatan rencana tuntutan ringan tersebut. "Selain itu kami akan melakukan investigasi dalam kasus ini," imbuhnya.
Disinggung soal adakah kemungkinan hakim di PT dan JPU ini menerima suap, ia mengklaim hal itu sangat mungkin terjadi. "Sebab, terkait narkoba apalagi secara internasional peredarannya sudah merupakan jaringan yang uangnya tidak sedikit. Namun itu tidak menutup kemungkinan terjadi. Hanya saja, dalam menyelidiki hal ini harus benar-benar orang profesional," tukasnya.
Sementara, Kajari Cibadak Diah Ayu L Akbari dikabarkan tidak akan melakukan kasasi putusan banding dari PT itu. Karena JPU awalnya hanya menuntut 20 tahun penjara untuk Mostafa dan 15 tahun untuk Sayed.
Sebelumnya, tiga orang majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Cibadak, Kabupaten Sukabumi, mendapatkan penghargaan dari Badan Narkotika Nasional (BNN) atas keberanian majelis hakim yang memvonis hukuman mati bagi dua terdakwa warga negara Iran, Mostafa Moradalivand bin Moradali dan Seyed Hashem Moosavipour bin Sayed Abdollah. Red*/Har-ter
Hal itu terjadi dalam kasus putusan di Pengadilan Tinggi (PT) Bandung yang menganulir putusan Pengadilan Negeri (PN) Cibadak atas hukuman mati dua gembong narkoba asal Iran, Mostafa Moradalivand bin Moradali dan Seyed Hashem Moosavipour bin Seyed Abdollah.
Anehnya, meski para gembong narkoba tersebut kedapatan memiliki 40 kg lebih sabu-sabu, namun pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Cibadak khususnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya menuntut 20 tahun penjara saat ditingkat pertama.
Pelaksana Tugas Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung, Jasman Pandjaitan, menyayangkan tuntutan JPU yang terlalu ringan tersebut. "Harusnya dituntut mati karena barang bukti yang ada yakni 40 kg lebih," kata Jasman seperti dikutip Harian Terbit, Rabu (29/4/2015).
Untuk itu, pihaknya menyelidiki apa dasar tuntutan ringan tersebut. "Pengawasan sudah memeriksa Kepala Kejaksaan Negeri Cibadak, Kasi Pidum Kejari Cibadak, Aspidum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat pada Jumat (24/4) dan Selasa (28/4)," lanjut Jasman.
Jasman menambahkan, pihaknya juga memeriksa Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat (Jabar) Feri Wibisono. "Kajati juga diperiksa atas hal ini," tuturnya.
Menurutnya, dengan barang bukti sekian besarnya, penyalahgunaan narkoba ini harusnya divonis mati. "Kita akan periksa apakah dalam rencana tuntutan kasus tersebut pihak Kejati Jawa Barat meminta petunjuk ke Jampidum," jelasnya.
Hasil pemeriksaan para jaksa dilingkup Kejati Jabar itu dikatakan Jasman akan diserahkan kepada Jaksa Agung M Prasetyo. "Kami akan serahkan hasil pemeriksaan ini untuk dimintai petunjuk kepada Jaksa Agung," tukasnya.
Terpisah, Ketua Komisi Kejaksaan Halius Hosen, menilai tuntutan JPU dalam kasus narkoba dua WNA asal Iran tersebut tidak tepat. "Kepemilikan 50 gram heroin saja dihukum mati. Ini yang 40 kg sabu malah dituntut ringan. Jelas ini sebuah tuntutan yang tidak tepat di masa keadilan yang berkembang ini," papar Halius.
Ia pun mendesak agar Kejagung menelusuri dugaan adanya permainan dalam kasus ini. "Tuntutan ringan kasus ini bukti kurangnya pengawasan melekat yang ada di Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi Jawa Barat," terangnya.
Padahal, kata dia, kasus ini masih di Pulau Jawa dan pengawasan ataupun kontrol yang seharusnya lebih mudah, malah seperti tidak ada sama sekali. "Apalagi kalau ada kasus serupa di luar Jawa. Pasti tidak bisa dikontrol," tegasnya.
Untuk itu, Halius meminta Jaksa Agung untuk menindak jaksa baik di tingkat Kejari Cibadak, Kejati Jawa Barat yang terlibat dalam pembuatan rencana tuntutan ringan tersebut. "Selain itu kami akan melakukan investigasi dalam kasus ini," imbuhnya.
Disinggung soal adakah kemungkinan hakim di PT dan JPU ini menerima suap, ia mengklaim hal itu sangat mungkin terjadi. "Sebab, terkait narkoba apalagi secara internasional peredarannya sudah merupakan jaringan yang uangnya tidak sedikit. Namun itu tidak menutup kemungkinan terjadi. Hanya saja, dalam menyelidiki hal ini harus benar-benar orang profesional," tukasnya.
Sementara, Kajari Cibadak Diah Ayu L Akbari dikabarkan tidak akan melakukan kasasi putusan banding dari PT itu. Karena JPU awalnya hanya menuntut 20 tahun penjara untuk Mostafa dan 15 tahun untuk Sayed.
Sebelumnya, tiga orang majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Cibadak, Kabupaten Sukabumi, mendapatkan penghargaan dari Badan Narkotika Nasional (BNN) atas keberanian majelis hakim yang memvonis hukuman mati bagi dua terdakwa warga negara Iran, Mostafa Moradalivand bin Moradali dan Seyed Hashem Moosavipour bin Sayed Abdollah. Red*/Har-ter
Editor: Malik AS