Tiba-tiba saja kita dikejutkan dengan kehadiran pemain baru
di tengah carut-marutnya percaturan politik dunia Arab, yang tampaknya kini
kian dalam menembus titik antiklimaksnya: Islamic State of Iraq and Sham
(ISIS). ISIS, yang tampil dengan corak yang teramat mengerikan, sontak membuat
dunia bersuara dalam koor senada, bahwa pada tubuh ISIS terdapat gen teroris
yang amat berbahaya dan kudu segera dihabisi. DK PBB memuntahkan kecaman yang
paling keras, karena ISIS dianggap telah mencederai martabat kemanusiaan dengan
cara yang teramat buruk.
Dalam sebuah jumpa pers (5/8/2014), 15 anggota DK PBB
sepakat, bahwa ISIS berbahaya tidak hanya di Suriah dan Irak, tapi juga bagi
perdamaian, keamanan dan stabilitas di kawasan. Sebelumnya (4/7/2014),
Persatuan Ulama Muslim se-Dunia (International Union of Muslim Scholars, IUMS),
yang dipimpin oleh Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, mengeluarkan pernyataan bahwa
deklarasi khilafah ISIS untuk wilayah Irak dan Suriah tidak sah secara syariah.
Selanjutnya, Organization of Islamic Cooperation (OIC, atau yang di sini lebih
dikenal dengan OKI), juga mengeluarkan kecaman yang tak kalah kerasnya.
Tampaknya, Vatikan juga turut buka mulut berkait perkara ini.
Alhasil, negara-negara dunia, berbagai lembaga dan
organisasi internasional tampak serentak mengecam ISIS. Tak ketinggalan, di
Indonesia, kecaman terhadap ISIS juga mengalir deras dari berbagai kalangan,
baik dari lembaga pemerintahan maupun non-pemerintah, mengingat didapati
sebagian relawan ISIS yang berasal dari dalam negeri. Ini menandakan betapa
ISIS tidak sekadar menjadi tranding topic di dunia maya, akan tetapi telah
menghantui masyarakat di siang bolong.
Dengan kecaman serentak semacam itu, barangkali sebagian
dari kita jadi bertanya, kenapa kok bisa seheboh itu? Apa dan bagaimana
sebetulnya profil, visi-misi, dan jejak langkah ISIS itu sendiri?
Politis dan Brutal
ISIS, atau ad-Daulah al-Islâmiyyah fil-ʻIrâq wasy-Syâm
(Da‘isy), sebetulnya terlahir dari gerakan jihadis Irak pimpinan Abu Mus’ab
az-Zarqawi, at-Tauhîd wal-Jihâd, yang pada 2004 menyatakan bergabung dengan
al-Qaeda Pusat (al-Qaeda Central, AQC) pimpinan Aiman azh-Zhawahiri.
Selanjutnya, at-Tauhîd wal-Jihâd menjadi agen al-Qaedah cabang Irak (al-Qaeda
in Iraq, AQI). Setelah kematian az-Zarqawi, AQI berubah menjadi ISI (Islamic
State of Iraq) pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi.
Sejak saat itu, AQC tak lagi akur dengan ISI karena ia
dipandang telah membangkang terhadap garis-garis besar haluan AQC. Friksi
antara AQC dengan ISI memuncak ketika al-Baghdadi malah ikut campur urusan
dalam negeri Suriah, dan selanjutnya ISI pun berkembang menjadi ISIS. Usaha
al-Baghdadi yang juga berminat mengakuisisi al-Qaeda cabang Suriah (Jabhah
an-Nushrah, JN), membuat AQC hilang kesabaran dan resmi mendepak ISIS.
Dalam perjalanannya, ISIS menerapkan prinsip teror terhadap
umat Islam sendiri dan bersikap intoleran tidak saja terhadap non-Muslim, akan
tetapi juga kepada umat Islam. Sebagai ekstremis takfiri khas Khawarij, objek
yang disasar ISIS bukan hanya Syiah Irak, tapi juga Sunni dan Kurdi yang
menghalangi jalan gerakan mereka. ISIS, dengan faham ekstremisnya, tak segan
melakukan bom bunuh diri, melakukan pembantaian, menjarah bank, membombardir
masjid-masjid, makam, dan sebagainya.
Hingga kini, pemberontak di Irak dan Suriah itu telah
menewaskan ribuan orang. PBB mengklaim lebih dari 2.400 warga Irak yang
mayoritas warga sipil tewas sepanjang Juni 2014. Jumlah korban tewas ini
merupakan yang terburuk dari aksi kekerasan di Irak dalam beberapa tahun
terakhir. Aksi ISIS ini juga telah menyebabkan tak kurang dari 30.000 warga
kota kecil di timur Suriah harus mengungsi.
Semua ini menunjukkan dengan jelas bahwa sesungguhnya ISIS
hadir hanya untuk motif politik kekuasaan belaka. Mereka bertopeng di balik
klaim-klaim syariah dan khilafah untuk menjustifikasi aksi-aksi teror mereka.
Padahal bagaimanapun, syariah dan khilafah jauh dari cara-cara ISIS yang justru
telah mencederai Islam. Ide ISIS tampak telah mundur jauh menuju potret buram
peralihan dinasti-dinasti masa lalu, yang hampir mesti didirikan di atas
genangan darah umat Islam sendiri.
Antitesis Islam
Dengan profil sesuram itu, tentu saja amat naif jika
sebagian di antara kita masih ada yang bersimpati pada ISIS, atau malah mendaku
gerakan terorisme itu sebagai perwujudan dari Islam yang paling murni. Maka,
adalah penting bagi kita untuk segera memaklumkan kepada khalayak – terutama
kelas awam – bahwa ISIS justru merupakan antitesis dari Islam dan berpotensi
merugikan Islam dan umat Islam sendiri.
Hal demikian setidaknya karena, pertama, pada hakikatnya
Islam itu rahmatan lil-‘âlamîn. Dalam perang sekalipun, Islam memiliki aturan
ketat lagi bermartabat, berkebalikan 180 derajat dengan aksi-aksi teror khas
ISIS. Jihad ala ISIS adalah gerakan subversif dan teror yang justru dilarang
dalam Islam. Dalam setiap fikih Sunni ditegaskan, bahwa usaha mengangkat imam
(khalifah, presiden, kepala pemerintahan) di kawasan yang sudah ada pemimpinnya
sama sekali tidak dibenarkan.
Kedua, ideologi khas ISIS – terlebih jika sampai mendapat
banyak simpati – akan semakin mempertajam aroma Islamofobia, terlebih di
kawasan yang masih alergi terhadap Islam. Ini jelas akan menjadi berita buruk
bagi Islam. Yang perlu kita lakukan dewasa ini adalah menampilkan Islam moderat
dalam bentuknya yang seramah mungkin, untuk mengikis habis premis-premis
prematur yang biasa berhembus dari Barat, bahwa Islam disebarkan dengan pedang.
Ketiga, jika virus sentimen sektarianisme ISIS sampai
meracuni umat Islam Indonesia, pastinya ia berpotensi memantik konflik seagama
(dalam hal ini Sunni-Syi’i) dan mengancam kerukunan umat antar-agama. Sentimen
sektarianisme ISIS rentan meminyaki percikan konflik horizontal di Indonesia
yang kadang meletup-letup. Padahal, sentimen semacam itu selama ini masih bisa
dikendalikan dengan cukup baik di sini. Bagaimanapun, segenap elemen umat harus
berusaha menyelamatkan Indonesia dari ancaman disintegrasi seperti yang telah
terjadi di Irak dan Suriah saat ini.(mmn)