Neoliberalisme ditengarai menjerumuskan masyarakat dunia ketiga
dalam jerat kemiskinan. Pemerintah tak berdaya mengikuti nafsu serakah para
kapitalis global. Dibutuhkan pemimpin yang punya nyali besar untuk
menghadapinya.
KARENA tidak
mampu membeli beras, sejumlah keluarga miskin di beberapa daerah di Indonesia
bertahan hidup dengan makan nasi aking. Aking adalah nasi sisa yang dijemur dan
dikeringkan. Bila ditanak, nasi aking akan berwarna kekuningan dengan rasa
hambar. Apa boleh buat, sejak harga beras melambung di atas Rp 4.000 per
kilogram makanan pokok itu jadi barang mewah yang tak terbeli.
Sementara nasi aking hanya 1000-1500 rupiah per kilogram,
atau pemberian gratis dari tetangga.
Nasib tak
mengungtungkan itu setidaknya kini dijalani keluarga Emis (70) di Purwakarta,
keluarga Sarmini di Brebes, keluarga Fastimah (38) di Cirebon dan warga kampung
di desa mereka. Umumnya mereka para buruh tani yang sudah lama tak bekerja
lantaran lahan sawah di desanya mengering, atau nelayan miskin yang sulit
melaut akibat kenaikan BBM.
“Sejak harga
beras naik, menjadi di atas Rp 4.000 per liter dalam dua bulan lalu, saya sudah
tak sanggup membeli beras. Karena itu, sekarang terpaksa mengumpulkan sisa nasi
yang diberi tetangga,” ujar Emis warga Kampung Batulayang, Desa Cikaobandung,
Kecamatan Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat.
Emis, Sarmini,
dan Fastimah adalah potret buram kemiskinan yang sempat terekspos media. Masih
ada jutaan rakyat yang bernasib serupa. Menurut data Biro Pusat Statistik
(BPS), hingga akhir 2006 lalu jumlah rakyat miskin sekitar 39,09 juta atau
setara 17,75 persen dari total 222 juta penduduk Indonesia.