KH. Ahmad Sanusi. (Foto : dok. Istimewa/sukabumiNews) |
K.H Ahmad Sanusi, tokoh pembaharu asli Sunda yang coba mewujudkan pemikiran dan
gerakanya di tanah kelahiranya. Tulisan berikut akan menelaah secara sederhana
bagaimanas kiprah KH. Ahmad Sanusi dalam melakukan islah atau perbaikan
terhadap umat dengan yang denganya berhak menyandang posisi sebagai pemikir
Islam (da’i).
Tokoh ini belum ada yang menulis secara komprenhensif, bahan yang
ada masih sangat sederhana, selain dari kliping media ada beberapa cerita
itupun juga masih sangat perlu dilakukan penggalian lebih dalam. Penelitian
ilmiah berupa skripsi, tesis ataupun disertasi belum pernah ada, hanya sebatas
tulisan ringan dan cuplikan di beberapa buku yang tidak membahas KH. Ahmad
Sanusi. Tulisan inipun juga sangat sederhana karena data yang dipakai juga
sebatas data yang ada.
Tulisan berikut, akan membedah secara sederhana dengan di dasarkan pada model penelaahan tokoh yang dipersyaratkan oleh Abu al-Hasan an-Nadwi dalam Kitabnya yang berjudul Rijal al-Fikri wa Da’wah. Seseorang bisa disebut sebagai tokoh (Rijal al-Fikri wa Da’wah) bila memenuhi tiga persyaratan utama. Pertama, ia memiliki wawasan Islam yang luas atau orang yang secara formal disebut sebagai pemikir. Kedua, ia bekerja untuk mewujudkan dan mensosialisasikan pemikiran-nya dalam kehidupanya. Ketiga, pemikiran dan tindakanya itu dimaksudkan sebagai upaya islah atau perbaikan bagi kemajuan umat.
A. PENDAHULUAN
Ajengan panggilan khas untuk seorang yang memiliki wawasan keilmuan di daerah (suku) Sunda, panggilan tersebut sebagaimana Kiyai di daerah Jawa, dan Tengku di Aceh. Ahmad Sanusi juga demikian, sebagai seorang yang berilmu ia juga biasa dipanggil dengan Ajengan Sanusi selain label Kiyai Haji, sebagaimana sebutan yang lain. Lahir di Kawedanan Cibadak, Sukabumi pada tahun 1881 dan wafat pada tahun 1950 di Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi.
Sejak kecil belajar kepada ayahnya sendiri, KH. Abdurrahim, pemimpin Pesantren Cantayam di Sukabumi. Selanjutnya ia juga belajar di pesantren-pesantren di daerah Sukabumi. Berangkat ke Makkah pada tahun 1904. Setelah pulang selain mendirikan pesantren beliau juga aktif dalam pergerakan bersama ulama-ulama yang lain, bahkan pergulatanya dengan Syarekat Islam sudah dimulai sejak masih bermukim di Makkah pada tahun 1913.
Jejak warisan yang ditinggalkan-nya, yaitu berupa lembaga pendidikan yang masih bisa dilihat sampai sekarang Pesantren Genteng Babakan Sirna, Cibadak Sukabumi Jawa-Barat. Bahkan oleh Pemda Jawa Barat pernah diusulkan mendapatkan pengakuan sebagai pahlawan, karena memang pernah melakukan perlawanan terhadap penjajah colonial Belanda pada masa kemerdekaan.
B. PEMIKIRANNYA TERHADAP UMAT
Pemikiran-pemikiran ajengan Ahmad Sanusi dituangkanya dalam berbagai karya, seperti Raudhatul Irfan, kitab terjamah bahasa Sunda per-kata dan dilengkapi dengan tafsir penjelas secara ringkas. Tafsir ini telah dicetak ulang berpuluh kali dan sampai sekarang masih dipakai oleh majlis-majlis ta’lim di wilayah Jawa Barat. Karya lainya adalah serial Tamsyiyyatul Muslimin, tafsir al-Qur’an dalam bahasa Melayu (Indonesia).
Setiap ayat-ayat al-Qur’an disamping ditulis dengan huruf Arab juga ditulis (transleterasi) dalam huruf Latin. Sementara banyak ulama pada waktu itu memandang usaha KH. Ahmad Sanusi sebagai suatu bid’ah yang haram, sehingga menimbulkan perdebatan yang sengit. Serial tafsir ini, sarat dengan pesan-pesan tentang pentingnya harga diri, persamaan, persaudaraan dan kemerdekaan di kalangan umat . Kitab lain yang juga ditulis adalah Malja al-Talibin fi Tafsir Kalam Tabb al-Alamin , dan Raudah al-‘Irfan.
Aktifitas menulisnya kembali dijalani setelah namanya di coret dari keanggotaan BPUPKI yang memwakili PUI di Masyumi karena dianggap terlalu memihak Islam. Lebih dari 75 buku ditulisnya, namun sayang karya-karya tersebut tidak semuanya sampai kepada kita.
Selama di Makkah pada tahun 1908 bersama istrinya, dalam beberapa kesempatan ilmiahnya bacaan-bacaan kaum pembaharu seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Walaupun demikian ia tetap berpegang (memberikan porsi yang adil) terhadap madzhab Syafi’i.
C. IMPLEMANTASI PEMIKIRANYA
Pemikiranya di implemantasikan dalam dua bentuk, Pertama ; berupa perjuangan melalui gerakan keumatan baik dalam bentuk organisasi maupun perlawanan khususnya terhadap penjajah, dan Kedua ; berupa lembaga pendidikan pesantren.
Pemikiran dan gerakan model pertama, beliau wujudkan dalam bentuk keaktifan beliau bersama ulama-ulama yang lainya dengan mendirikan PUII dan PUI. Serta ikut terlibat dalam perlawanan terhadap penjajah beserta santri-santri Pesantren Genteng Babakan Sirna pada bulan November 1926. Akibatya ia dipenjara di Sukabumi selama 6 bulan dan di Cianjur 7 bulan. Kemudian beliau diasingkan oleh pemerintah penjajah Belanda ke Tanah Tinggi Jakarta selama 7 tahun (1927-1934).
Dalam masa kemerdekaan, Ahmad Sanusi adalah tokoh SI, akibatnya ia menjadi tahanan Belanda di Batavia selama 7 tahun. Selama di pengungsian, ia menulis buku dan membentuk suatu organisasi yang bernama al-Ittihadiat al-Islamiyah pada tahun 1931.
Yang kedua, beliau juga sangat peduli dengan dunia pendidikan diantaranya adalah pendirian Pesantren Syamsul Ulum. Beliau beralasan dengan memperhatikan pendidikan maka perubahan akan berproses. Menurut ajengan Ahmad Sanusi, ijtihad hanya bisa dilakukan oleh muslim yang menguasai alat-alatnya seperti pandai bahasa Arab, mengetahui isi al-Qur’an, mengetahui al-Hadist, dan lain-lain.
Data ini penting karena, selain A. Hasan dari Persis yang menyuarakan tajdid, Ahmad Sanusi ternyata juga melakukan hal yang sama, tapi dengan cara yang berbeda, isu yang digunakan secara cultural melalui penerjemahan berbahasa sunda dan gerakan ekonomi bersama KH. Abdul Halim dari Majalengka. Beliau juga menjadi salah satu Pengurus Badan Wakaf STI, yang menjadi cikal bakal Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Selain itu Ahmad Sanusi juga menerbitkan majalah al-Hidayah al-Islamiyah dan majalah at-Tabligh al-Islam (da’wah Islam), sebagai bahan bacaan dalam rangka da’wah bi al-lisan (da’wah yang disampaiakn secara lisan). Al-Ittihadiyah al-islamiyah akhirnya dibubarkan oleh penguasa Jepang, namun beliau melakukan perubahan terhadap nama organisasi tersebut dengan Persatuan Umat Islam (PUI).
Pada masa awal pendudukan Jepang tahun 1942, semua partai politik dan organiasi pergerakan dibubarkan oleh penguasa Jepang. Termasuk organiasasi yang dipimpin oleh Ahmad Sanusi. Akan tetapi, beberapa bulan kemudian Jepang mengeluarkan maklumat bahwa parpol dan ormas diizinkan kembalai.
Federasi MIAI aktif lagi menjadi dan diubah namanya menjadi Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Sedangkan Persyarikatan Oelama (PO) diganti namanya Perikatan Oemat Islam (POI)yang kemudian diubah ejaanya menjadi Perikatan Umat Islam (PUI).
Di tempat tinggal Ahmad Sanusi, beliau mendirikan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII). Seperti halnya Perikatan Ummat Islam (PUI), sejarah perjuangan PUII juga melalui proses perkembangan dan pergantian nama yang pada awal didirikanya bernama al-Ittihadiyau al-Islamiyah.
Khittah perjuangan PUII pimpinan Ajengan Ahmad Sanusi di Sukabumi secara prinsipil sama dengan khittah perjuangan PUI pimpinan KH. Abdul Halim di Majalengka. Kesamaan visi dan misi serta cita-cita kedua organisasi tersebut akhirnya mendorong kedua belah pihak untuk melebur organisasi mereka menjadi satu organisasi.
Setelah melalui proses yang cukup panjang serta beberapa kali pertemuan dan perundingan, akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk mendeklarasikan fusi (peleburan) organisasi Perikatan Ummat Islam (PUI) dan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI) pada tanggal 5 April 1952 bertepatan dengan tanggal 9 Rajab 1371 H bertempat di Gedung Nasional Kota Bogor.
Namun pada tahun 1944 justru kemudian beliau diangkat menjadi salah seorang instruktur latihan yang diselenggarakan untuk mengdakan konsilidasi politik Jepang dengan umat Islam. Dan pada tahun 1944, ia diangkat oleh Jepang sebagai wakil residen di Bogor.
D. AGENDA PERBAIKAN UMAT
Dilihat dari kiprahnya yang memang berbasis pendidikan pesantren selama bersama ayahnya, demikian juga setelah kepulangannya dari Makkah. Pada tahun 1915 beliau kembali mengajar di pesantren ayahnya selama kurang lebih 3 tahun.
Pendidikan dalam artian satu kegiatan yang diharapkan akan menjadi basis berubahan secara khusus menjadi perhatian yang sangat serius oleh Ahmad Sanusi. Pendidikan yang dimaksud adalah cita-cita untuk membentengi aqidah ummat dan melahirkan pendidikan yang membebaskan. Karena disatu sisi ia menyaksikan pendidikan Islam (pesantren) tertinggal jauh oleh pendidikan yang diselenggarakan oleh misionaris Kristen, sedangkan disisi yang lain pendidikan Islam (non formal) yang ada waktu itu adalah penghulu yang menjadi ajang kepanjangan tangan pemerintah colonial.
Ditulis oleh: Ahmad Misbahul Anam,M.A.
Editor: A Malik As.