Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Qur'an dan Assunnah (Bag.3)

Pilar-pilar Sistem Pemerintahan Islam
Oleh: A Malik AS
Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitabnya Nizhamul Hukm Fil Islam  hal 38, ada empat pilar dalam sistem pemerintahan islam

1.       Kedaulatan ditangan syara’
2.       Kekuasaan ditangan ummat
3.       Mengangkat satu khalifah, bagi seluruh kaum muslim, hukumnya wajib
4.       Khalifah adalah satu-satunya pihak yang berhak mentabanni (mengadopsi) hukum-hukum syara’ untuk diberlakukan sebagai undang-undang.

1.       Kedaulatan ditangan syara’

Sistem pemerintahan Islam sangat berbeda dengan sistem demokrasi dan sistem-sistem lain diluar ajaran Islam. Dalam Islam, kedaulatan (siyaddah) ditangan syara’; yakni yang berhak menentukan penilaian baik buruk, benar salah, halal haram atau wajib tidaknya sesuatu dikerjakan atau terlarang, adalah hukum syara (syari’at Allah) saja. Akal kebiasaan, tradisi maupun adat-istiadat, apalagi hawa nafsu, tidaklah berhak untuk ikut menentukan penilaian baik  buruk atau boleh tidaknya suatu tindakan atau perbuatan dikerjakan.

Dalam QS. An-Nisa: 65 Allah berfirman;

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.

Hai orang-orang yang (mengaku diri) beriman, ta’atlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, juga terhadap ulil amri diantara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu (urusan), maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)*, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itulah lebih utama (bagi kalian) an lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa: 59)

*yakni kepada syara’. Oleh karenanya, yang berkuasa di tengah-tengah ummat dan individu warga negara dan mengendalikan aspirasi seluruh warga adalah syari’at yang dibawa Rasulullah saw dimana ummat serta siapapun warga tunduk kepada hukum-hukum syara’. Oleh karena itu Kedaulatan ada di tangan Syara’.

2.       Kekuasaan ditangan ummat

Dalam sistem pemerintahan Islam, seorang khalifah memperoleh keduddukan dan kekuasaan setelah dibai’at oleh ummat. Dalil bahwa syara’ telah menjadikan pengangkatan khalifah oleh ummat sangatlah tegas dalam hadits-hadits tentang bai’at. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ubadah bin As-Shamit, yang berkata:

Kami telah membai’at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan menta’ati perintahnya baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun tidak kami senangi”. (HR. Muslim).

Juga sebuah hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

Ada tiga orang yang pada hari kiamat nanti Allah SWT tidak akan mengajaknya berbicara dan tidak akan mensucikannya… dan seseorang yang membai’at seorang imam (khalifah) lantaran ada maksud duniawi. Jika kalifah itu memberikan apa yang dia inginkan, ia tetap setia memenuhi bai’atnya. Namun bila apa yang diinginkan tidak diperolehnya, dia tidak lagi setia memenuhi bai’atnya”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

Jadi, bai’atlah satu satunya metode perpindahan kekuasaan dari ummat ke khalifah.

Tidak penting proses dan prosedur teknis menuju perbai’atan tersebut, apakah melalui pemilu seperti yang kita kenal sekarang ini, untuk mengambil suara seluruh kaum muslimin, pemilihan oleh para anggota majlis ummat yasng merupakan representasi ummat, ataukah oleh sekelompok tokoh ummat yang terpercaya (ahlul haali wal aqdi).  Sedangkan yang mengesahkannya pada jabatan khalifah itu adalah ijab qabul dalam akad khalifah, dimana ummat memberikan kekuasaan dan kesetiaan (ijab) dengan ridha dan tanpa ada paksaan, dan dia (yang dijadikan khalifah) pun menerimanya (qabul) secara sukarela.

Bai’at yang deiberikan dengan sukarela oleh ummat inilah yang secara esensial menunjukkan bahwa kekuasaan (assulthan/authority) ditangan ummat.

Salah satu contoh, saat pergantian khalifah dari Umar bin Khaththab ra, yang telah wafat kepada khalifah Utsman bin Affan ra. Panitia pemilihan khalifah; Abdurrahmnan bin Auf ra mendapatkan mayoritas suara penduduk kota Madinah (ibukota khilafah Islamiyyah) cenderung kepada Ali bin Abi Thalib ra, dan Utsman bin Affan ra. Hanya saja kaum muslimin pada waktu itu mensyaratkan agar khalifah sepeninggalan Umar menetapi aturan-aturan (hukum Syar’i hasil ijtidah) yang ditetapkan oileh dua khalifah sebelumnya, yakni Abu Bakar Shiddiq ra dan khalifah Umar ra.

Oleh karena itu, ketika Abdurrahman bin Auf ra menyampaikan ijaab dalam akad khilafah kepada Ali menyebut syarat tersebut. Namun Ali tidak mengabulkannya (tidak memberi qabuul). Ketika di-ijab-kan kepada Utsman, beliau mengabulkannya. Maka jadilah akad khilafah (ijaab qabuul) dari ummat kepada Utsman bin Affan ra, sehingga dia menjadi Khalifah setetah wafatnya Khalifah Umar bin Khaththab ra. (Nizhamul Hukm fil Islam hal. 80)

3.       Mengangkat Satu Khalifah Fardu Hukumnya Bagi Kaum Muslimin

Kewajiban mengangkat seorang khalifah bagi seluruh kaum muslimin adalah harga mati yang tak dapat ditawar lagi, mengingat suatu hadits yang diriwayatkan oleh Nafi dan Umar ra yang berkata; Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:

Siapa siapa yang melepas tangannya dari keta’atan kepada Allah, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di hari qiyamat tanpa meliliki hujjah (alasan). Dan barang siapa yang mati sedang di pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya adalah seperti mati jahiliyyah”.

Dalam hadits diatas Rasulullah saw mewajibkan ada bai’at di pundak setiap muslimin agar matinya seperti mati jahiliyyah, yakni manakala tidak ada khilafah yang menjadi objek bai’at yang diberikan oleh kaum muslimin, maka siapapun diantara kaum muslimin mati dalam keadaan berdosa lantaran tidak melaksanakan hukum yang harus ditegakkan diantara kaum muslimin itu sendiri. Dosa itu baru gugur bagi sebagaian kaum muslimyang telah berjuang untuk menegakkan khilifah, karena mereka melaksanakan kewajiban, walaupun belum berhasil lantaran belum memperoleh kecukupan mengingat ini termasuk fardlu kifayah.

Adapun dalil yang menegaskan bahwa khalifah itu harus satu orang adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, bahwa Nabi saw bersabda;

Aabila dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah ang terakhir dari keduanya”. (HR. Imam Muslim).

4.       Khalifah adalah satu-satunya pihak yang berhak men-tabanni (mengadopsi) hukum-hukum syara’ untuk diberlakukan sebagai undang-undang.

Berdasarkan ijma sahabat, bahwa khalifahlah yang berhak men-tabanni hukum-hukum syar’I guna ditetapkan sebagai undang-undang untuk dilaksanakan dalam kehidupan barmasyarakat dan bernegara.
Hal ini dimaksudkan untuk perkara-perkara yang hukumnya tidak qath’i; memungkinkan berbagai penafsiran hukum dari para fuqaha atau mujtahidin. Sehingga dengan penetapan tersebut dalam prakteknya tidak menimbulkan perselisihan, karena sudah ditetapkan dalam undang-undang, termasuk dalam perkara ini adalah masalah-masalah mubah yang kewenangan untuk mengaturnya diserahkan oleh syari’at Islam kepada seorang khalifah.

Ijma’ sahabat ini diambil dari kaidah ushul fiqh;
“Amrul-imaami yurfa’ulkhilaafi”, yang artinya: perintah imam (khalifah) menghilangkan perselisihan (dikalangan fuqaha)

Juga kaidah yang mengatakan “amrul-imaami naafidz”: perintah imam (khalifah) berlaku bagi rakyat.

Anda boleh beropini dengan mengomantari Artikel di atas

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال