Terhitung memasuki bulan
Januari, bank sentral Amerika Serikat, The Fed, dengan resmi melakukan
pemangkasan stimulus fiskal yang telah digelontorkan sejak tahun 2008 dengan
kebijakan Quantitative Easingnya. Ben Bernanke, Gubernur Bank Sentral Amerika
Serikat mengumumkan hal itu di Washington DC dalam sesi konferensi press
terakhirnya selama tahun 2013, Ben Bernanke mengumumkan Bank Sentral akan
melakukan pemangkasan stimulus fiskal dari dana yang telah mengalir ke pasar
(tapering) sebesar US$ 85 juta sejak Amerika Serikat dilanda krisis
keuangan yang dipicu ambruknya perusahaan hipotek perumahan, Subprime Mortage
dan perusahaan investasi perbankan terbesar dalam sejarah Amerika Serikat,
Lehman Brothers. Kebijakan yang diambil oleh Ben Bernanke itu oleh para ekonom
disebut sebagai Tapering Off.
Ben Bernanke, lebih lanjut akan
meneruskan program pemangkasan stimulus fiskalnya itu secara berkala dan
dimulai dari awal Januari. Obligasi milik pemerintah dengan nilai US$ 35 juta,
dan berlanjut setara US$ 40 juta akan disiapkan oleh The Fed untuk dijual.
Pemangkasan stimulus fiskal Amerika Serikat, masih menurut Ben Bernanke,
dilakukan seiring perbaikan yang terakumulasi dari semester ke semester dan
kini tercatat tingkat pengangguran telah jatuh mendekati tujuh persen selama
November 2013 dan diestimasikan telah tercipta sebanyak 203.000 lapangan kerja
baru. Ben Bernanke yang menggantikan Alan Greenspan sebagai Gubernur Bank
Sentral Amerika, mendedahkan alasannya bahwa tingkat penyerapan lapangan kerja
sebagai salah satu kebijakan lain yang tepat menyikapi pasar kerja yang telah
memperlihatkan peningkatan secara substansial dalam konteks stabilitas harga.
Tapering off adalah sebuah
kebijakan fiskal yang diambil bank sentral dengan mengurangi money supply yang beredar
di pasar dengan menjual obligasi negara dan memusnahkan uang yang diperoleh
dari penjualan tersebut kebalikan Tapering Off secara istilah kerap
disebut sebagai Quantitative Easing, teknik yang diambil Bank Sentral jika
ingin menambah peredaran uang di pasar dengan membeli obligasi pemerintah atau
mencetak uang lagi, kedua efeknya pun berbeda, pada Quantitative Easing, Ms
beredar lebih banyak di pasar, mata uang lokal yang dikeluarkan oleh Bank
Sentral menjadi depresiasi dan di negara lain, mata uang negara lawan nya yang
bertransaksi menjadi apresiasi, lebih ke luar makro lagi harga emas di pasaran
dunia membubung tinggi dan tercatat selama periode 2008-2009 harga emas dunia
mencapai rekor yang paling menyentuh jantung investor. Kemudian efek pada Tapering
off, Money Supply yang beredar di pasar berkurang, mata uang lokal menguat dan
mata uang negara lain yang bertransaksi dengan mata uang lokal tersebut menjadi
melemah.
Dampak yang secara nyata kita
saksikan kini, kurs Dollar atas Rupiah sudah tembus sekitar Rp 12.197/US$ dan
menurut analisa majalah bisnis internasional, FORBES, pada akhirnya Dollar akan
tembus hingga titik Rp 16.000/US$. Di lantai bursa indeks harga saham gabungan
sudah menyentuh angka 4.346,4. Menakjubkan !, skenario krisis keuangan Asia
tahun 1998/1999 ? kalau dianalisa dengan seksama tentu jawaban nya
tidak bisa dengan tergesa-gesa bahwa ekonomi Indonesia yang sejak tahun 2012
memiliki pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. Fundamental ekonomi Indonesia
terbilang kokoh untuk diterpa krisis, arsitektur perbankan Indonesia sudah jauh
lebih disiplin dan prudent dibandingan API pada saat
gejolak krisis menerpa Asia Tenggara. Sektor pasar barang yang didominasi unit
usaha kecil menengah atau UMKM juga semakin didorong untuk Bankable seiring
dengan semangat Financial Inclusion. Jadi pertanyaan yang harusnya ditanyakan,
kalau ekonomi Indonesia dipastikan tidak akan terjadi krisis mengapa kurs
Dollar yang sudah tembus Rp 12.197 dan bahkan bisa lebih dari itu penting untuk
diperhatikan. Lalu apakah selamanya kebijakan The Fed berimbas pada
negara-negara berkembang ?
Dalam teori ekonomi
Makro,tingkat harga secara umum untuk komoditas dalam negeri ditentukan dari
berubah nya penawaran dan permintaan mata uang lokal. Sebut saja disini rupiah.
Kenaikan penawaran Rupiah secara signifikant dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan
melonjaknya harga-harga secara umum atau yang disebut juga dengan inflasi.
Kalau sudah inflasi daya beli masyarakat yang berpendapatan tetap akan
dirugikan. Kalau menurut Adiwarman Karim (2010) tingkat harga yang melonjak
karena disebabkan lonjakan permintaan uang dan penawaran uang disebut dengan Exchange Rate Overshooting.dan ERO ini sangat penting untuk membantu kita memahami dampak
dari Tapering Off ini.
Sekitar Bulan Desember 2013,
Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardoyo, sudah mengetahui rencana kebijakan
The Fed untuk memangkas stimulus fiskal nya. sebagai seorang Gubernur yang
berpengalaman sebelumnya sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia ditambah
pengetahuan perbankan nya yang sudah mapan di Bank Mandiri, tentu Agus
Martowardoyo mengetahui rencana Tapering Off itu. ibarat riak-riak di
lautan yang bersiap menjadi gelombang besar, sejak bulan November 2013
ketika kondisi makroekonomi di Amerika Serikat mulai berangsung pulih
dari krisis nya sudah mulai berhembus issue di kalangan investor dan pemerhati
keuangan bahwa The Fed akan melakukan pemangkasan stimulus fiskal sejak saat
itu juga terjadi kepanikan di lantai bursa. Hot Money berangsur angkat kaki,
pertumbuhan ekonomi terkoreksi, indeks harga saham gabungan di lantai bursa
hampir mendekati 3.000 dan di dalam negeri kurs Rupiah sudah melemah atas
dollar sebesar Rp 11.000/US$. Agus Martowardoyo sebagai seorang Gubernur Bank
Indonesia ingin menjaga stabilitas rupiah mengambil langkah menaikkan tingkat
suku bunga menjadi 7%. Hasilnya untuk sementara Rupiah menguat beberapa waktu.
Dan benar saja, The Fed mengurangi stimulus fiskal bukan sembarang issue, akhir
desember Ben Bernanke mengumumkan nya.
Seandainya benar Gubernur Bank
Sentral Amerika Serikat mengurangi stimulus fiskal, efeknya Ms berkurang,
Dollar kembali menguat dan Rupiah serta mata uang negara-negara Asia melemah,
kenaikan penawaran uang IDR di pasar juga tetap membuat kenaikan tingkat suku
bunga tidak banyak menolong. Akibatnya Rupiah kembali tepar dalam jangka waktu yang
panjang. Dan teparnya rupiah itu akan diselingi berita dalam negeri yang
membuat kepala semakin pening, hiruk pikuk agenda politik 2014, Impor
bahan-bahan komoditas pangan yang diperkenankan oleh Menteri Perdagangan Gita
Wirawan, dan suhu inflasi. padahal seharusnya negeri ini belajar dari teori
ekonomi Nabi Yusuf as, masa booming pertumbuhan ekonomi dimanfaatkan untuk
emergency saving dan meningkatkan produksi bahan pangan sebelum memasuki masa
paceklik.
Yusuf berkata : “Kamu akan
menanam dengan sungguh-sungguh selama tujuh tahun dan ketika kamu dapat
memanennya, maka pergunakanlah sekedar cukup untuk makan kalian, dan simpanlah
sisa nya beserta tangkai-tangkainya
Karena setelah masa itu akan
datang tujuh tahun berikutnya masa yang susah yang akan menghabiskan semua
persediaan yang telah kalian simpan, kecuali sedikit bibit gandum yang kalian
simpan. Setelah masa itu akan datang tahun-tahun turun hujan yang cukup kepada
manusia. Saat itu mereka akan lebih banyak memanen hasil tanaman mereka. ( Surah
Yusuf : 47-49)
Tags
ekonomi-bisnis