Ada dua ungkapan indah dari dua orang sahabat Rasulullah,
yang dapat dipatenkan sebagai referensi komprehensif dalam seni bertanya.
Keduanya mensyaratkan adanya ‘kederdasan’ sebelum dan sesudah bertanya.
Pertama, ungkapan yang berasal dari Abdullah ibn
Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Mughirah meriwayatkan, Abdullah ibn Abbas radhiyallahu
‘anhuma pernah ditanya:“Apa rahasia anda bisa memiliki ilmu seluas
ini?” Beliau menjawab:“Dengan lisan yang suka bertanya, dan hati
yang selalu berpikir.”
Inilah rahasia seseorang bisa meraih ilmu yang banyak. Ia
menjadi terpuji jika kedua sifat tersebut ada padanya, namun jika salah satu
atau keduanya hilang, maka hilanglah keutamaannya. Ilmu juga kian berkurang
dari seseorang manakala salah satu, atau kedua sifat ini hilang darinya.
Ungkapan Ibn Abbas di atas sekaligus menjadi bantahan
atas metode kaum Filsuf dan Atheis yang menjadikan pertanyaan sebagai
tujuan. Mereka berlomba mengajukan pertanyaan sebanyak mungkin dan tidak
berusaha mencari jawaban atau solusinya.
Andai saja ada dari pertanyaan tersebut yang mendapat
jawaban, maka mereka tidak akan mengindahkannya. Kemudian berusaha membuatnya
ambigu dan kehilangan bobot dengan mengeluarkan puluhan pertanyaan baru
lainnya dari jawaban tersebut.
Ini semua lantaran hati kaum Atheis tidak lagi memiliki
setitik pun kemampuan untuk berpikir, hingga pengetahuan tidak dapat eksis.
Mereka juga tidak punya setetes keyakinan hingga ilmu tidak pernah bersemayam
di hatinya. Hati mereka penuh dengan keraguan, kebingungan, kekacauan, dan
kontradiksi.
Kedua, ungkapan Ans ibn Malik radhiyallahu ‘anhu.
Beliau berkata:“Ketika kami dilarang untuk bertanya
kepada beliau (tentang hal-hal yang tidak penting), kami berharap akan datang
seorang badui yang cerdas (mengerti cara bertanya yang baik) maka dia bertanya
kepada beliau dan kami akan mendengarkan (dialog tersebut).”
Anas senantiasa menanti pertanyaan orang-orang cerdas,
sebab mereka hanya bertanya tentang perkara yang bermanfaat dan diperlukan.
Pertanyaan orang-orang cerdas juga biasanya fokus dan mendalam yang merupakan
inti dari suatu persoalan.
Ungkapan sahabat Anas ini juga menjadi bantahan atas
pertanyaan dan persoalan Filsuf dan Atheis. Biasanya mereka mengajukan
pertanyaan tentang perkara yang sudah cukup jelas dan dapat dijawab
dengan mudah, atau pertanyaan tentang hal ghaib di luar kapasitas akal manusia
biasa, dimana manusia hanya dituntut mempercayai dan mengimaninya.
Perkara yang sudah cukup jelas, seperti pertanyaan mereka
tentang wujud Allah. Sebab semua orang berakal pasti percaya dan tahu bahwa
Allah itu ada. Dalam perkara ghaib, biasanya mereka suka bertanya tentang kaifiyah/esensi
sifat-sifat Allah, kaifiyah/esensi hari kiamat, dsb. Jadi
pertanyaan mereka biasanya di bawah standar minimal atau melampaui akal manusia
biasa.[]
HR.
Ahmad, KitabFadhail al-Shahabah, jilid II, h. 970
HR. Muslim, Kitabal-Iman, no. 12
Tags
khazanah