Mahkamah
Konstitusi membacakan putusan uji materi (judicial review) UU Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Effendi
Gazali. MK menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu legislatif serta pemilu
presiden (dan wakil presiden) baru berlaku pada 2019. Artinya, dengan
menggunakan rezim alasan keterbatasan waktu, pemulihan konstitusionalitas Pasal
22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 baru terjadi lima tahun lagi.
Apresiasi atas putusan MK ini terasa agak hambar
karena pemulihan Pasal 22E Ayat (1) dan (2) menjadi kehilangan makna dalam
Pemilu 2014. Padahal, sebagaimana tertulis pada akhir Putusan No 14/PUU-XI/2013
ini, kesepakatan mayoritas hakim MK untuk menerima pemilu legislatif dan pemilu
presiden-wakil presiden dilaksanakan secara serentak telah diambil dalam rapat
permusyawaratan hakim (RPH) pada 26 Maret 2013. Karena penundaan itu,
keberhasilan permohonan yang diajukan Effendi Gazali menjadi antiklimaks.
Mengapa MK perlu sekitar 10 bulan untuk membacakan
putusan? Menggunakan jadwal RPH yang tertera dalam putusan ini, sekiranya
dibacakan beberapa waktu setelahnya, maka dekatnya jadwal pemilu legislatif tak
akan jadi alasan. Bahkan, dari rentang waktu yang tersedia, sekiranya dibacakan
pada April 2013, misalnya, KPU pasti lebih siap untuk menyelenggarakan pemilu
serentak.
Membaca penjelasan beberapa hakim MK, dapat dipastikan
bahwa RPH 26 Maret 2013 tidak menyepakati jadwal pemilu serentak. Misalnya,
Wakil Ketua MK Arief Hidayat menyatakan, setelah melihat kondisi pemilu yang
sudah terjadwal dan sangat dekat dengan penyelenggaraan Pemilu 2014, maka
sebelum menggelar sidang pembacaan putusan, MK merevisi putusan tersebut,
pemilu serentak dilakukan pada Pemilu 2019.
Dugaan saya, sekiranya memang benar tidak ada
kesepakatan mengenai jadwal, dengan tenggang waktu yang relatif masih cukup,
boleh jadi keinginan yang berkembang ketika pelaksanaan RPH 26 Maret 2013
mayoritas hakim menghendaki pemilu serentak dilaksanakan dalam Pemilu 2014.
Meski demikian, untuk keluar dari berbagai prasangka, soal ini dapat dilacak
dari legal opinion semua hakim MK. Sekiranya pembacaan putusan lebih awal,
Putusan No 14/PUU-XI/2013 menjadi kehilangan basis argumentasi yang kuat untuk
menyelenggarakan pemilu serentak 2019.
Merujuk keterangan Wakil Ketua MK tersebut, Putusan No
14/PUU-XI/2013 tak sepenuhnya berasal dari RPH 26 Maret 2013. Paling tidak,
hakim MK kembali mengadakan RPH lain sebelum pembacaan putusan. Dalam bahasa
sederhana, untuk sampai pada putusan yang berujung pada pembacaan, hakim MK melakukan
permusyawaratan (RPH) berlapis. Lalu, RPH mana yang jadi pengambil keputusan
final dalam memutus perkara Effendi Gazali? Pertanyaan tersebut penting
dikemukakan karena sebagian hakim yang ikut RPH 26 Maret 2013 tidak lagi
menjadi hakim MK ketika RPH kedua dilakukan.
Sekalipun permohonan Effendi Gazali telah dibacakan
serta memiliki kekuatan hukum final dan mengikat, perdebatan untuk mengajukan
calon presiden menuju 2014 belum selesai. Dalam hal ini, meski permohonan
Yusril Ihza Mahendra tidak menyoal pemilu serentak, fokusnya dapat dikatakan
berimpitan. Karena itu, logika hukum menerima permohonan Effendi Gazali dengan
mudah diterapkan dalam memutus permohonan Yusril. Dengan dasar pijakan itu,
dalam batas penalaran yang wajar, tak ada alasan bagi MK untuk menolak
permohonan Yusril.
Selama ini, hambatan yuridis mempersoalkan ambang
batas pengajuan pasangan calon presiden, MK pernah menolak permohonan serupa.
Namun, dengan dikabulkannya permohonan Effendi Gazali, secara implisit MK
menganulir ambang batas meski dalam Putusan No 14/PUU-XI/2013 dinyatakan:
syarat mengajukan pasangan calon presiden merupakan wewenang pembentuk UU
dengan tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945. Dengan adanya frasa ”dengan
tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945”, MK mengisyaratkan pengembalian
validitas ambang Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945.
Dengan posisi tersebut, MK punya ruang menjawab kritik
berbagai kalangan karena menunda pemilu serentak lima tahun lagi. Caranya,
segera batalkan ambang batas (presidential threshold) dalam UU No 42/2008.
Dengan demikian, makna hakiki Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 dapat dipulihkan dalam
Pemilu Presiden 2014. Saya percaya, keberanian MK melakukan langkah tersebut
akan sedikit meredakan penilaian rasa hambar atas Putusan MK No 14/PUU-XI/2013.
[]
Saldi Isra;
Guru Besar Hukum Tata Negara;
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH
Universitas Andalas
Sumber: rumahpemilu.org