sukabuminews, JAKARTA – Setahun, kekerasan terhadap wartawan meningkat.
Hal ini dipicu pemberitaan menyerang kebijakan pemerintah maupun
institusi lain yang tidak pro rakyat. Karenanya, perlu pemberian
advokasi kepada wartawan.
Demikian disampaikan Ketua Komisi Pengaduan Pengaduan Masyarakat dan
Pengaduan Etika Pers Dewan Pers, Agus Sudibyo, seperti diberitakan poskotanews, saat diskusi akhir tahun
tentang kode etik dan kekerasaan terhadap wartawan di Universitas Prof.
Dr Moestopo (Beragama).
Menurut Agus, pers di Indonesia saat ini adalah yang paling bebas dan
berkembang di Asia Pasifik. Pers Indonesia hanya kalah dengan Afrika
Selatan. “Begitu pesatnya perkembangan kebebasan pers di Indonesia
membuat semakin rentannya aksi kekerasan terhadap para jurnalis,”
ungkapnya.
WILAYAH LUAS
Agus mengatakan, angka kekerasan terhadap wartawan di Indonesia tinggi.
Hal ini dinilai wajar lantaran Indonesia memiliki wilayah yang luas
meliputi Sabang sampai Merauke, dengan negara kepulauan berpenduduk
lebih dari 200 jiwa.
“Advokasi terhadap wartawan diberikan bila wartawannya setuju untuk
diadvokasi. Kalau wartawannya diam saja mau -damai saja, ya enggak bisa
diadvokasi,” sambungnya
Agus menambahkan, asosiasi wartawan juga harus membentuk lumbung
dana, lantaran proses advokasi membutuhkan dana yang tidak sedikit.
“Jadi kita juga harus punya dana, keperluan advokasi membutuhkan biaya
banyak,” sambungnya.
Seperti diketahui, sejumlah aksi kekerasan terhadap awak media
seperti tidak ada habisnya. Kekerasan tersebut seperti dialami Aryono
Linggotu, 25, wartawan Koran Metro Manado tewas setelah ditusuk
sekelompok orang tidak dikenal pada 25 November lalu. Pria yang akrab
disapa Ryo itu meregang nyawa di kawasan Kelurahan Tikala Baru
Lingkungan II, Kecamatan Tikala, Kota Manado.
Kemudian di Riau, Robby, wartawan RTV, dianiaya oleh oknum TNI AU.
Untungnya Robby bisa meloloskan diri, namun sampai saat ini kasusnya
belum terungkap. (Red**)