Pemerintah kolonial Belanda melalui para pakarnya sudah sejak lama
melakukan distorsi terhadap sejarah bangsa kita. Salah satu tujuannya
adalah mengecilkan peran Islam dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik,
pendidikan, seni dan budaya serta pertahanan dan keamanan negeri ini.
Cara yang mereka gunakan adalah dengan mengubah orientasi tinjauan
sejarahnya menjadi hanya “Hindu-Budha Sentrisme” dan “Neerlando
sentrisme”. Hal itu berarti, pemerintah kolonial, dalam membaca gerak
sejarah bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam hanya bertolak
dari tinjauan atau opini Hindu, Budha atau Belanda.
Itulah sebabnya,
peran santri dan para ulama dikecilkan. Dan meskipun fakta adanya ribuan
mesjid, surau, langgar dan naskah-naskah Islam serta kesultanan Islam
tersebar di seluruh wilayah Nusantara serta penggunaan bahasa Melayu
yang menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia sebagai lingua franca di
lingkungan para ulama dalam kegiatan dagang maupun dakwah, tetap saja
analisis mereka menjadi bias.
Borobudur mengalahkan ribuan mesjid.
Sebuah candi, patung atau prasasti menenggelamkan ribuan naskah Islam
yang berbicara tentang sosio-kultural bangsa ini. Dan itu dilakukan
secara sengaja karena kebencian mereka setelah melihat peran umat Islam
yang demikian keras dalam menentang penjajahan sementara umat yang lain
(sebagian besar) malah bekerjasama dengan mereka.
Akibat lain dari cara pandang seperti ini, penulisan sejarah Hindu- Budha, meski patung dan candi yang ditemukan hanya ada di sebagian kecil Nusantara dengan jumlah penganut yang minoritas, selalu dibesar-besarkan. Zaman Hindu-Budha disebut sebagai zaman keemasan dan kejayaan.
Akibat lain dari cara pandang seperti ini, penulisan sejarah Hindu- Budha, meski patung dan candi yang ditemukan hanya ada di sebagian kecil Nusantara dengan jumlah penganut yang minoritas, selalu dibesar-besarkan. Zaman Hindu-Budha disebut sebagai zaman keemasan dan kejayaan.
Bangsa kita
selalu dikaitkan dengan Sriwijaya dan Majapahit, sedangkan Islam yang
telah membangkitkan semangat perlawanan dan penentangan terhadap
penjajah di seluruh wilayah, dinilai sebagai zaman perpecahan. Bahkan
partisipasi umat Islam dalam menegakkan kedaulatan bangsa dan negara,
merebut dan mempertahankan kemerdekaan, hanya sedikit dibicarakan.
Sampai-sampai dalam penulisan buku-buku sejarah yang diajarkan dari
mulai SD sampai Perguruan Tinggi, Boedi Oetomo mengalahkan Syarikat
Islam, Ki Hajar Dewantara meminggirkan H. Achmad Dachlan, dan
tokoh-tokoh seperti Muhammad Natsir dan Syafrudin Prawiranegara,
misalnya, dibicarakan dengan sikap curiga dan penuh prasangka. Kita
memang sudah merdeka tapi pemikiran kesejarahan kita masih terjajah
Belanda.
Bias dari sikap dan pandangan tersebut menyebabkan pemerintah kolonial Belanda berupaya mengecilkan peran Achmad Dachlan, putera dari KH Aboebakar bin Kiai Soelaiman, Penghulu Mesjid Sultan Yogyakarta yang mendirikan Perserikatan Muhammadiyah pada 18 Nopember 1912.
Bias dari sikap dan pandangan tersebut menyebabkan pemerintah kolonial Belanda berupaya mengecilkan peran Achmad Dachlan, putera dari KH Aboebakar bin Kiai Soelaiman, Penghulu Mesjid Sultan Yogyakarta yang mendirikan Perserikatan Muhammadiyah pada 18 Nopember 1912.
Hal-hal yang menggerakkan beliau mendirikan perserikatan ini
adalah Sistem Tanam Paksa yang diberlakukan kolonial Belanda selama 93
tahun yang mengakibatkan kesengsaraan luar biasa bagi bangsa ini dengan
menciptakan kemiskinan massal dan melahirkan anak-anak yatim dan piatu
yang amat sangat tidak berdaya.
KH Achmad Dachlan selalu berusaha
menumbuhkan solidaritas umat dengan mengingatkan mereka akan surat
Al-Maun (QS : 107) bahwa shalat yang tidak melahirkan kesadaran untuk
menolong fakir miskin dan membiarkan anak-anak yatim hanyalah riya saja.
Karena itulah secara berturut-turut beliau mendirikan Majelis Penolong
Kesengsaraan Umum (untuk menolong dan menyantuni kaum dhuafa), Aisyiyah
(untuk membangkitkan kesadaran kaum perempuan), Nasyiatul-Aisyiyah
(untuk pembinaan para gadis), dan sekolah-sekolah. Organisasi ini
berkembang sampai ke luar Jawa.
Pemerintah kolonial Belanda selalu mencurigai apa yang dilakukan Achmad Dachlan ini sebagai perpanjangan gerakan Pan Islamisme yang dipelopori Jamaludin al Afghani yang amat anti penjajahan, dan menyerukan persatuan umat Islam di seluruh dunia.
Pemerintah kolonial Belanda selalu mencurigai apa yang dilakukan Achmad Dachlan ini sebagai perpanjangan gerakan Pan Islamisme yang dipelopori Jamaludin al Afghani yang amat anti penjajahan, dan menyerukan persatuan umat Islam di seluruh dunia.
Upaya-upaya mereka untuk tetap menjadikan bangsa
Indonesia miskin dan bodoh agar mereka tetap terjajah, dijawab oleh
beliau dengan memperbanyak membangun sekolah dan mengaktifkan Majelis
Penolong Kesengsaraan Umat.
Demikian pula, gerakan pendangkalan
pemahaman agama dan pemiskinan kondisi sosial ekonomi sebagai tindak
lanjut dari sistem penindasan Tanam Paksa yang dilakukan penjajah mulai
mengalami banyak hambatan besar karena organisasi yang dipimpin Achmad
Dachlan bertujuan melahirkan kalangan terdidik yang sadar akan agamanya
dan menuntut Indonesia yang merdeka.
Belanda kian sadar betapa Islam
menjadi kekuatan pemersatu dan pendorong semangat perlawanan akan
penjajahan. Dan karena itulah, sejarah perlu dibengkokkan dan
fakta-fakta yang ada harus ditutupi.
Dalam menghadapi perkembangan organisasi Islam nonpolitik, Belanda menciptakan pengimbangnya, yaitu perkumpulan Kebatinan. Misalnya, untuk mengimbangi Persyerikatan Muhammadiyah diperkuatlah Perhimpunan Seloso Kliwon yang kemudian menjadi Taman Siswo (1922) yang dipimpin oleh Ki Hadjar Dewantara.
Dalam menghadapi perkembangan organisasi Islam nonpolitik, Belanda menciptakan pengimbangnya, yaitu perkumpulan Kebatinan. Misalnya, untuk mengimbangi Persyerikatan Muhammadiyah diperkuatlah Perhimpunan Seloso Kliwon yang kemudian menjadi Taman Siswo (1922) yang dipimpin oleh Ki Hadjar Dewantara.
Untuk mengimbangi Persatuan Ulama di Majalengka Jawa Barat
(1915), dikembangkanlah Igama Djawa Pasoendan atau Agama Djawa Soenda di
Cigugur Kuningan (1920) yang didirikan Sadewa atau yang lebih dikenal
dengan nama Madrais. Belanda melakukan politik devide and rule (pecah
belah, lalu kuasai) dengan menekankan pentingnya orang Indonesia
berkiblat pada agama dan nilai-nilai nenek moyangnya.
Demikianlah suku
Jawa dikaitkan dengan kejawaannya, dan suku Sunda dikaitkan dengan
kesundaannya. Bukan dengan keislamannya !
Dalam suasana yang demikianlah, meski Taman Siswo yang berasal dari kelompok aliran kebatinan kejawen Seloso Kliwon, menolak Agama (Islam) dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah, dan hanya mengajarkan Budi Pekerti Kejawaan, tetap saja hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara (tanggal 2 mei) yang dijadikan Hari Pendidikan Nasional.
Dalam suasana yang demikianlah, meski Taman Siswo yang berasal dari kelompok aliran kebatinan kejawen Seloso Kliwon, menolak Agama (Islam) dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah, dan hanya mengajarkan Budi Pekerti Kejawaan, tetap saja hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara (tanggal 2 mei) yang dijadikan Hari Pendidikan Nasional.
Bukan tanggal 18
Nopember, hari lahirnya Persyerikatan Muhammadiyah karena faktor
keislamannya.
Dengan tetap menghargai dan tidak mengurangi jasa-jasa Ki Hadjar Dewantara terhadap dunia pendidikan di Indonesia, kiranya tanggal 18 Nopember lebih layak dijadikan HARDIKNAS. Karena sesungguhnya Achmad Dachlan telah mengajarkan kepada kita kesatuan antara Keislaman dan Kebangsaan Indonesia.
Dengan tetap menghargai dan tidak mengurangi jasa-jasa Ki Hadjar Dewantara terhadap dunia pendidikan di Indonesia, kiranya tanggal 18 Nopember lebih layak dijadikan HARDIKNAS. Karena sesungguhnya Achmad Dachlan telah mengajarkan kepada kita kesatuan antara Keislaman dan Kebangsaan Indonesia.
Wallahu A’lam…..
*Penulis adalah Tokoh dan Pemerhati Pendidikan Sukabumi.
Editor: Red
Copyright © SUKABUMINEWS 2012